Menangis Karena Khawatir Warisan Dunia Alami Kehancuran

Suasana di Balai Desa Pal VIII Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu seketika menjadi hening. Semua orang yang hadir dalam diskusi antara Direktur Eksekutif Non Timber Forest Product–Exchange Programme (NTFP-EP) Asia Eufemia Felisa L. Pinto, Direktur Eksekutif NTFP-EP Indonesia Jusupta Tarigan bersama perwakilan Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) dan Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Desa Pal VIII pada siang Minggu (28/5/17) itu diam tertegun.

Intan Yones Astika yang khawatir Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), bagian dari Situs Warisan Dunia, mengalami kehancuran tak kuasa menahan air matanya. “Bagaimana kedepannya dengan perempuan bila kerusakan TNKS terus terjadi? Kerusakan parah TNKS bisa mengakibatkan krisis air. Padahal, perempuan sangat membutuhkan air. Misalnya saja saat mengalami menstruasi. Apa mungkin perempuan yang mengalami menstruasi menggunakan air yang kotor?” ujar Intan sembari menangis.

Wakil Ketua KPPSWD itu tak langsung melanjutkan kalimat yang ingin disampaikan. Setelah mengelap tetesan air mata di pipi sambil beberapa kali menarik nafas yang mendalam, dia baru bisa melanjutkan. “Saat hamil dan melahirkan, perempuan juga sangat membutuhkan air bersih. Untuk melakukan berbagai pekerjaan di rumah, perempuan juga membutuhkan air. Tanpa air, perempuan tidak bisa memasak, menyuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Kesulitan mendapatkan air akan membuat perempuan tertekan,” kata Intan.

Begitu pula terkait dengan pekerjaan perempuan sebagai petani. Bila lahan kebun atau sawah mengalami kekeringan, perempuan akan kehilangan pendapatan akibat gagal panen atau tidak bisa mencari upahan. Padahal, pendapatan tersebut sangat dibutuhkan untuk membantu pembiayaan rumah tangga, termasuk anak bersekolah. “Masih banyak dampak lainnya terhadap perempuan. Dilandasi keprihatinan itulah, kami membentuk komunitas ini, kami ingin memperjuangkan hak-hak perempuan atas lingkungan hidup,” imbuh Intan.

Hak perempuan atas lingkungan hidup yang diperjuangkan antara lain hak atas informasi, untuk berkomunikasi, mendapatkan pendidikan dan pelatihan, berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan pemanfaatan hutan dan hasil hutan bukan kayu. “Selain akan membuat media sebagai sarana perempuan untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi, kami bersama ibu-ibu di desa juga akan berupaya menyampaikan aspirasi secara langsung kepada pemerintah daerah,” tambah Sekretaris KPPSWD Oktaviana Hendri Yenni.

Saat ini, KPPSWD  beranggota 11 orang. Mereka merupakan mahasiswi Universitas Bengkulu, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Curup, Politeknik Rafflesia Rejang Lebong, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Rejang Lebong, dan karyawati PT. PLN Cabang Curup, Rejang Lebong. Untuk beraktivitas seperti pertemuan rutin dan lainnya, KPPSWD telah mendapatkan izin menggunakan salah satu ruangan di Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS di Rejang Lebong.

Kesejahteraan Perempuan

Hampir separuh (50%) atau 412.324,6 Ha dari luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu (924.631 Ha) merupakan bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TNKS, dua dari tiga taman nasional di Sumatera yang ditetapkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) dan masuk daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada 7 Juli 2004. Namun, tingginya ancaman dan gangguan keutuhan TRHS, UNESCO memberikan status terancam pada 22 Juni 2011. Hingga kini, Pemerintah Indonesia berupaya menghapus status terancam tersebut.

Foto: Dokumentasi LivE

Secara administratif, sebagian kawasan TRHS masuk wilayah Kabupaten Kaur, Mukomuko, Bengkulu Utara, Rejang Lebong dan Lebong yang struktur perekonomiannya ditopang secara utama oleh sektor pertanian dan masih menghadapi masalah kemiskinan. Mayoritas penduduk yang berjenis kelamin perempuan di lima kabupaten itu tidak masuk kategori angkatan kerja, dan sektor pertanian menjadi lapangan usaha dominan bagi perempuan yang bekerja.

Kawasan TRHS juga menjadi bagian wilayah sedikitnya 92 desa, khusus di Rejang Lebong menjadi bagian wilayah 26 desa, salah satunya adalah Desa Pal VIII. Kepala Desa Pal VIII Prisnawati mengatakan, pembentukan KPPL merupakan tindaklanjut dari pelatihan yang diikuti. “Dibentuk bukan untuk menyaingi kaum laki-laki, tapi untuk memperjuangkan keadilan hak. Masih banyak hak perempuan belum terpenuhi secara adil. Misalnya saja terkait Madapi (mahoni, damar dan pinus), kami berharap bisa ikut memanfaatkannya, khususnya untuk sektor pariwisata,” ujar Prisnawati.

Terkait kerusakan TNKS, KPPL juga siap untuk melakukan penghijauan, termasuk membuat kebun pembibitan. Akan tetapi, dia berharap tanaman yang ditanam bisa memberikan manfaat untuk peningkatan kesejahteraan perempuan. “Namun, kami belum mengetahui upaya apa saja harus dilakukan agar bisa memanfaatkan kawasan TNKS untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan. Kami sangat membutuhkan informasi tersebut, termasuk membutuhkan pendidikan-pendidikan agar kami bisa memanfaatkan TNKS dengan tepat (berkelanjutan),” kata Prisnawati.

Eufemia mengapresiasi kesadaran KPPSWD dan KPPL mengenai hubungan perempuan dan alam. Menurut Eufemia, aktivitas/pekerjaan perempuan memang sangat erat berkaitan dengan alam. “Misalnya memasak, untuk melakukannya membutuhkan bahan baku, air dan energi, semuanya berasal dari alam. Bila alam rusak, perempuan akan merasakan dampak paling buruk. Begitu pula dengan aktivitas atau pekerjaan lainnya,” kata Eufemia yang juga mengapresiasi kesadaran KPPSWD dan KPPL untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan keadilan lingkungan hidup.

Jusupta Tarigan mengatakan, cukup banyak tanaman kehutanan yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan perempuan sebagai bagian dari kegiatan pemberdayaan perempuan. Misalnya aren, jengkol, petai atau lainnya. Begitu pula dengan potensi wisata, perempuan juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Untuk itu, KPPL disarankan agar aktif berkomunikasi dengan pengelola TNKS dan pemerintah daerah agar hak tersebut dipenuhi. “Polanya disebut kemitraan. Saya kira, teman-teman KPPSWD dan LivE bersedia mendukung KPPL untuk memperjuangkannya,” kata Jusupta.

Related Posts

Mengenal Kopi Semang, Kopi Dengan Harga “Launching” Rp 500 Ribu per Kg

“500 ribu rupiah,” ujar Barista KM Nol Café, Herry Supandi secara lugas menyebutkan harga perkenalan yang pantas untuk setiap kilogram roasted bean kopi semang yang diluncurkan oleh…

Perempuan Petani Kopi Ajukan Ranperdes untuk Hadapi Perubahan Iklim

Inisiatif perempuan petani kopi di Desa Batu Ampar dan Desa Pungguk Meranti menyusun dan mengajukan Ranperdes tersebut bukan tidak beralasan. Mereka telah merasakan secara nyata berbagai dampak dari perubahan iklim, dan mengkhawatirkan dampaknya akan semakin memburuk pada masa mendatang.

Gubernur Bengkulu akan Usulkan Areal Kawasan Hutan Khusus untuk Kelompok Perempuan

Gubernur Bengkulu Dr. H. Rohidin Mersyah akan mengusulkan areal kawasan hutan untuk dikelola secara khusus oleh kelompok perempuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

29 Kelompok Perempuan Pengelola Hutan dan Usaha HHBK akan Berdialog dengan Gubernur Bengkulu

Sebanyak 29 kelompok perempuan pengelola hutan dan usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) akan menyampaikan aspirasi melalui kegiatan dialog dengan para pemangku kebijakan, yakni Balai Besar Taman…

Ketika 11 Kelompok Perempuan Pengelola Hutan Berlatih Pemetaan Partisipatif Berbasis Teknologi Solutif

“Misi berhasil…,” teriak Feni yang langsung disambut dengan teriakan anggota Tim 1 lainnya, “Yes…, yes…, yes…” Teriakan tersebut merupakan luapan kegembiraan Tim 1 karena telah berhasil menyelesaikan…

Gubernur Bengkulu Harapkan Jumlah Kelompok Perempuan Pengelola Hutan Bisa Bertambah

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengharapkan jumlah kelompok perempuan pengelola hutan yang berhasil mendapatkan legalitas bisa bertambah. Rohidin menyampaikan harapan tersebut setelah membaca buku Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *