Hutan, Pangan, Hak Perempuan dan Otobiografi

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Membentang di wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Bengkulu dengan luas mencapai 1,4 juta hektar, TNKS disebut sebagai salah satu cadangan hutan hujan tropis terbesar dan terpenting di Asia (MacKinnon and MacKinnon dalam Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation Ministry of Forestry, 2003). Pada tahun 2003, TNKS ditetapkan sebagai Warisan Alam Asean (ASEAN Heritage Parks), dan pada tahun 2004, TNKS bersama Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ditetapkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) yang masuk daftar Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites).

Halaman depan dan belakang buku Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan

Pada tahun 2011, Komite Warisan Dunia UNESCO memasukkan TRHS dalam daftar bahaya karena tingginya ancaman terhadap keutuhannya. Salah satu ancaman terbesarnya adalah perambahan. Di TNKS, IUCN (2020) mengungkapkan, tutupan hutan yang hilang dari tahun 2011 hingga 2017 adalah 21.570 hektar. Sementara Purwanto (2015) mengungkapkan, luas hutan TNKS yang dirambah hingga tahun 2014 adalah 130.322 hektar. Khusus di Provinsi Bengkulu, luas hutan TNKS yang dirambah adalah 27.467 hektar, dengan sebaran sekitar 26.000 hektar di Kabupaten Rejang Lebong (dan Lebong), 1.378 hektar di Kabupaten Bengkulu Utara, dan 895 hektar di Kabupaten Mukomuko.

Di Kabupaten Rejang Lebong, keterdesakan ekonomi dan keterbatasan lahan telah memaksa sebagian perempuan desa penyangga TNKS memungut beragam pangan liar di hutan TNKS dan menggarap hutan TNKS untuk berkebun pangan. Cerita tentang perempuan penggarap yang berlari terbirit-birit seorang diri, dalam keadaan hamil atau sambil menggendong anak, dan bersembunyi di semak-semak atau pepohonan di pinggir jurang untuk menghindar dari petugas kehutanan, termasuk cerita tentang petani ditangkap dan dipenjara, pondok kebun dibakar, dan tanaman ditebang dan dihancurkan merupakan cerita yang hidup bersama mereka.

Model Pengelolaan Kawasan Lindung

Kondisi yang dialami perempuan desa penyangga TNKS tersebut adalah ironi. Dalam Managing Natural World Heritage, UNESCO/ ICCROM/ICOMOS/IUCN (2012) mengingatkan agar pengelola dan pengambil keputusan harus melihat Warisan Dunia dapat memberikan manfaat positif untuk penghidupan dan berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan dengan menjawab dimensi-dimensi kemiskinan: Kesempatan meliputi pendapatan, perumahan, pangan, alternatif penghidupan, pendidikan dan pengembangan keterampilan baru; Pemberdayaan meliputi mekanisme tata kelola, partisipasi masyarakat, manfaat bagi perempuan, anak dan pemuda, akses dan hak; dan Keamanan meliputi kesehatan, kohesi sosial, tradisi budaya dan pemeliharaan sumber daya alam.

Di lain sisi, Ervin dkk (2015) mengungkapkan, model pengelolaan kawasan lindung juga telah mengalami pergeseran. Dalam model post-2010, kawasan lindung dipandang sebagai komponen penting dari sistem pendukung kehidupan, dan kawasan lindung diharapkan memberikan lebih banyak – dalam hal kontribusi ekologi, sosial dan ekonomi – dari sebelumnya, salah satunya terkait ketahanan pangan. “Kawasan lindung dapat memberikan kontribusi besar bagi ketahanan pangan… Perencana harus mempertimbangkan beberapa langkah dasar dalam mengintegrasikan kawasan lindung ke perencanaan ketahanan pangan seperti… menjaga pengetahuan dan praktik pertanian di dalam dan sekitar kawasan lindung…”

FAO (2014) juga mengemukakan, pengetahuan tradisional dan persepsi masyarakat lokal adalah penting untuk pengelolaan dan pelestarian kawasan lindung terkait ketahanan pangan. “Khususnya perempuan yang seringkali memiliki pengetahuan khusus tentang hutan, pohon, dan satwa liar dalam hal keanekaragaman spesies, penggunaan untuk berbagai keperluan, dan praktik konservasi dan pengelolaan berkelanjutan. Memanfaatkan pengetahuan tradisional secara lebih baik dan menggabungkannya dengan pengetahuan ilmiah berpotensi meningkatkan peran kawasan lindung dalam ketahanan pangan untuk masyarakat setempat.”

Hutan dan Pangan

Hutan, menurut Agarwal dkk (2015), memiliki peran langsung dan tidak langsung terkait pangan. Peran langsung hutan terkait pangan meliputi: Keanekaragaman, kualitas dan kuantitas makanan berupa penyedia pangan berupa buah, sayur, kacang, jamur, pakan ternak, pangan hewani (daging hewan buruan, ikan dan serangga); dan jaring pengaman mata pencaharian berupa pangan untuk masa paceklik dan masa kelangkaan lainnya, komposisi nutrisi dan bahan bakar kayu untuk memasak. Sedangkan peran tidak langsung hutan terkait pangan meliputi: Produk pohon untuk penghasilan pendapatan berupa tanaman pepohonan, produk-produk kayu, hasil hutan bukan kayu dan hasil pohon lainnya; dan jasa eksositem berupa penyedia sumber daya genetik, penyerbukan, pengatur iklim mikro, penyedia habitat, penyedia air (kuantitas dan kualitas), pembentuk tanah, pengendali erosi, siklus nutrisi dan pengedali hama.

Sedangkan High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition (2017) mengemukakan, hutan berkontribusi untuk pangan melalui empat saluran: 1. Penyedia pangan secara langsung meliputi keragaman dan kualitas makanan; penyedia pangan hewani; penyedia pakan ternak; perdagangan produk pangan dari hutan; dan penyangga kelangkaan pangan, 2. Penyedia bioenergi, terutama untuk memasak (kayu bakar), 3. Mata pencaharian dan ekonomi meliputi pendapatan; pekerjaan; dan peran gender, dan 4. Penyedia jasa ekosistem yang penting untuk produksi pertanian dalam jangka panjang meliputi pengatur air; pembentuk tanah, pelindung dan sirkulasi nutrisi; stabilitas agroekosistem; pelindung keanekaragaman hayati dan sumber daya hilir; penyerbukan; dan sinergi dan pertukaran.

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah memberikan sambutan pada kegiatan diskusi/bedah buku Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan pada 18 April 2023 yang diselenggarakan oleh AJI Bengkulu bersama Koperasi Perempuan Pelestari Hutan dan LivE untuk merayakan Hari Bumi 2023.

Hak Perempuan

Perjuangan perempuan desa penyangga TNKS untuk mendapatkan pengakuan formal terhadap hak mereka untuk mengelola hutan TNKS dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di hutan TNKS terkait pangan dipelopori oleh perempuan Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong yang membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama pada 9 Juli 2017. Setelah berproses cukup lama, KPPL Maju Bersama berhasil menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dengan Balai Besar TNKS untuk membudidayakan dan memanfaatkan kecombrang dan pakis di hutan TNKS pada 5 Maret 2019. Perjuangan serupa juga dilakukan oleh Perempuan di Desa Tebat Tenong Luar, Kabupaten Rejang Lebong yang membentuk KPPL Karya Mandiri pada 25 Mei 2018. Setelah berproses, KPPL Karya Mandiri juga berhasil menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dengan Balai Besar TNKS untuk membudidayakan dan memanfaatkan bambu dan pepulut (pulutan) di hutan TNKS pada 8 Agustus 2020.

Perempuan di Desa Karang Jaya dan Desa Sumber Bening, Kabupaten Rejang Lebong juga memperjuangkan hal serupa dengan membentuk KPPL Sumber Jaya pada 18 Maret 2020 dan KPPL Sejahtera pada 5 November 2020, dan juga berhasil menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dengan Balai Besar TNKS untuk memulihkan ekosistem hutan TNKS dengan menanam pohon kehutanan penghasil buah dan memanfaatkan buahnya pada areal seluas 37,22 hektar dan 40,52 hektar pada 7 Desember 2021.

Saat ini, perempuan di Desa Mojorejo, Desa Tebat Tenong Luar dan Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong yang membentuk KPPL Makmur Jaya pada 20 Januari 2022, KPPL Pal Jaya pada 20 Januari 2022 dan KPPL Mulia Bersama pada 18 Februari 2022 sedang memperjuangkan hak mereka untuk mengelola hutan TNKS dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di hutan TNKS terkait pangan.

Otobiografi

Buku ini merupakan kumpulan otobiografi 16 orang perempuan perwakilan dari KPPL Maju Bersama, KPPL Karya Mandiri, KPPL Sumber Jaya, KPPL Sejahtera dan empat orang perempuan perwakilan dari Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) yang bersepakat untuk berkolaborasi membangun jalan perubahan bersama. Secara umum, buku ini terbagi dua bagian. Bagian pertama tentang latarbelakang, pengetahuan, pengalaman dan agensi mereka terkait pengelolaan hutan TNKS dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di hutan TNKS untuk pangan, dan bagian kedua tentang jalan perubahan bersama yang mereka bangun.

Menurut Joannou (1995), perempuan yang menulis otobiografi adalah perempuan yang merevisi dan mempertanyakan narasi yang sudah ada sebelumnya tentang dirinya, dan menolak dan merumuskan kembali apa yang sudah diketahui. “Bagi perempuan, otobiografi ada sebagai situs alternatif definisi diri dan afirmasi, sebuah upaya untuk memecahkan keheningan patriarkal.” Cosslett dkk (2000) juga mengungkapkan, “Jika perempuan dikategorikan sebagai ‘objek’ oleh budaya patriarki, otobiografi perempuan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan diri sebagai ‘subjek’, dengan kedirian mereka sendiri.”

Otobiografi, menurut Bose (2021), telah menjadi cara untuk bersaksi tentang penindasan dan sekaligus memberdayakan subjek. “Lebih dari sekadar representasi kehidupan seseorang,” Lebdai (2015) mengungkapkan, “tulisan otobiografi adalah pencarian yang kuat untuk identitas, untuk pengetahuan diri dan pengakuan diri, khususnya sangat bermakna pada masa kolonial dan pascakolonial.” Mengadaptasi pernyataan Fanon, Smith dan Watson (1992) juga mengemukakan, “Sebagai proses dan produk dekolonisasi, tulisan otobiografi memiliki potensi untuk ‘mengubah penonton yang hancur dengan ketidakesensialan mereka menjadi aktor istimewa’ untuk mendorong ‘penciptaan perempuan baru yang sesungguhnya’.”

Terlepas dari kekurangan yang ditemui, kesediaan mereka untuk menghadirkan buku ini sangat pantas untuk diapresiasi setinggi-tingginya. Selain akan memberi manfaat bagi diri mereka sendiri, buku ini juga diharapkan akan memberikan manfaat bagi perempuan lain dan kalangan luas. “Otobiografi adalah bentuk kesaksian yang ‘berarti bagi yang lain’,” ungkap Bose (2021). Sementara itu, Smith dan Watson (1998) mengemukakan, status otobiografi telah berubah secara dramatis, baik di dalam maupun di luar akademi. “Otobiografi perempuan sekarang menjadi situs istimewa untuk memikirkan isu-isu penulisan di persimpangan teori kritis feminis, pascakolonial, dan pascamodern.” Begitu pula dikemukakan oleh Valley dalam Huddart (2008), “Setiap otobiografi adalah fragmen dari sebuah teori.”

Tulisan ini diambil dari Hutan, Pangan, Hak Perempuan dan Otobiografi: Sebuah Pengantar Editor dalam buku Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan (2023)

Related Posts

Perempuan dan Kehutanan Komunitas di Indonesia: Sebuah Catatan Singkat

Sudah lebih dari empat dekade diskursus tentang perempuan dan kehutanan komunitas (community forestry) dikumandangkan. Di Indonesia, baru di Provinsi Bengkulu terdapat kelompok perempuan yang berhasil mendapatkan legalitas hak akses, partisipasi, kontrol dan manfaat hutan melalui Perhutanan Sosial.

Narasi Konservasi Berbasis Hak Perempuan Kian Menguat

Tahun 2020 yang dilanda pandemi Covid 19 tidak hanya dicatat sebagai tahun yang memberatkan. Tahun 2020 juga dicatat sebagai tahun yang kian menyadarkan bahwa dampak kerusakan lingkungan…

Mengapa Kita Tidak Belajar dari Ibu Suminah?

Cuma di Bengkulu ada usaha pembuatan sepatu buatan tangan yang menggunakan pelepah pisang sebagai bahan bakunya. Karya unik ini bahkan sudah merambah Eropa dan China. Sepatu ini dianggap sebuah produk yang berwawasan lingkungan dan lahir dari seorang perempuan yang cuma hendak memanfaatkan limbah yang banyak di sekitar rumahnya. Siapa perempuan ini?

Mengapa Lumbung Padi Tak Lagi Dipakai Petani Bengkulu

Dahulu di sejumlah wilayah Bengkulu begitu mudah ditemui lumbung padi. Tradisi menjaga ketahanan pangan ini arif dipertahankan beberapa tahun silam. Namun kini, sayang konsep tradisional yang mampu menjaga ketersediaan pangan itu memudar dan beberapa sudah menghilang.

Adaptasi Iklim dan Demam Berdarah, Kenapa Perlu Dibicarakan

Perubahan iklim mengubah segalanya. Nyamuk kini bahkan jauh lebih ganas dan berbahaya. Mereka menyerang tak mengenal waktu dan bisa membunuh siapa pun yang menyepelekan dampak dari perubahan iklim saat ini.

Mereka Petani Berdasi si Perampas Tanah

Jumlah petani di Indonesia menyusut drastis. Pengurangan itu pun sejalan dengan berkurangnya lahan. Di sisi lain, muncul petani-petani berdasi yang tak pernah kenal lumpur dan kerbau. Namun kini petani inilah yang kini menjadi penguasa lahan. Mereka juga menguasai orang untuk dijadikan petani sekaligus buruh di bekas lahan milik mereka. Siapa mereka? Simak catatan berikut:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *