Mengapa Kita Tidak Belajar dari Ibu Suminah?

Cuma di Bengkulu ada usaha pembuatan sepatu buatan tangan yang menggunakan pelepah pisang sebagai bahan bakunya. Karya unik ini bahkan sudah merambah Eropa dan China. Sepatu ini dianggap sebuah produk yang berwawasan lingkungan dan lahir dari seorang perempuan yang cuma hendak memanfaatkan limbah yang banyak di sekitar rumahnya. Siapa perempuan ini? Simak laporan berikut.

LivE Knowledge – Suminah, demikian nama lengkap perempuan kelahiran Nganjuk, 12 Agustus 1968 ini dikenal di Desa Harapan Makmur Pondok Kubang Bengkulu Tengah. Sosoknya tak begitu populer di Bengkulu.

Tapi jangan heran, meski begini, perempuan ini sudah melanglang Eropa. Kepiawaiannya membuat sepatu dari pelepah pisang menempatkan Suminah sebagai salah satu sosok wirausaha tanah air kreatif yang berwawasan lingkungan. Hebat bukan?

Usaha pembuatan sepatu dari pelepah pisang milik ibu dua anak ini dirintisnya pada tahun 2012. Ide itu didapatnya setelah ia mendapatkan pelatihan pembuatan sepatu di Sidoarjo Jawa Timur.

Setelah itu, ia tergerak mencoba mengembangkan pengetahuan yang didapatnya. Namun, Suminah bereksperimen dengan menggunakan bahan baku limbah.

“Di belakang rumah saya banyak pohon pisang. Sebagian batangnya kadang terbuang sia-sia kalau sudah diambil buahnya. Jadi saya pikir coba dimanfaatkan, mungkin lebih menarik,” ujar Suminah.

Sejak itu, Suminah bereksperimen bagaimana membuat agar pelepah pisang bisa disematkan di dalam sepatu karyanya.

Salah satu karya tangan sepatu dari bahan pelepah pisang yang dibuat oleh Suminah/VIVA.co.id

Tentu bukan perkara mudah. Apalagi, pelepah pisang memiliki kadar air yang tinggi serta sangat bergetah sehingga diperlukan suatu proses panjang untuk menjadi bahan baku yang benar-benar layak diolah menjadi sepatu.

“Saya sampai lupa, saking seringnya mencoba. Pelepah saya ambil dari kebun, saya potong-potong, kemudian dijemur, direndam, sampai berulang-ulang hingga benar-benar kering. Tapi faktanya masih lembab juga. Saya coba terus, sampai dikatakan tetangga tidak waras,” kata dia.

Namun, upaya tak kenal henti itu akhirnya menemukan muara dan Suminah pun menemukan formula dengan cara dikeringkan menggunakan oven.

Setelah yakin dengan formula yang ada, Suminah pun mulai membuat sepatu pertamanya bermodalkan desain dan pola yang didapatkan saat pelatihan. Lambat tapi pasti, akhirnya produk yang dihasilkannya mulai dilirik konsumen.

Sepatu milik Suminah yang dibuat dengan tangan itu terbukti membuat banyak orang jatuh hati. Sejumlah pejabat menjadi pelanggan pertamanya.

Hingga akhirnya, keunikan sepatu itu mengantarkannya ke Eropa dan China untuk dipamerkan. Nama Suminah dan karyanya pun dalam sekejap melambung.

Ia pun akhirnya ditetapkan sebagai wirausaha kreatif yang berwawasan lingkungan. Kini, Suminah terus mencoba berkarya, salah satunya yang kini sedang digagasnya adalah sepatu yang memadupadankan motif kain Besurek Bengkulu.

“Segala sesuatu yang ditekuni itu pasti membuahkan hasil. Saya yakin ibu-ibu lain juga mampu membuatnya. Tinggal lagi menekuninya,” kata Suminah.

* Tulisan ini disadur ulang dari laporan antaranews dan VIVA.co.id

* Punya sosok inspiratif lain serupa ibu Suminah, sila kirimkan tulisan anda ke redaksi Live Indonesia ID ke liveknowledge@hotmail.com

Related Posts

Panggilan untuk Berkontribusi dan Berkolaborasi: Memberdayakan Perempuan Petani Kopi untuk Membangun Kebun Kopi Tangguh Iklim

Kopi robusta merupakan salah satu tanaman perkebunan yang memiliki peran strategis bagi Provinsi Bengkulu. Secara nasional, Provinsi Bengkulu merupakan provinsi dengan areal perkebunan kopi robusta rakyat terluas…

Hutan, Pangan, Hak Perempuan dan Otobiografi

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Membentang di wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Bengkulu dengan luas mencapai 1,4…

Perempuan dan Kehutanan Komunitas di Indonesia: Sebuah Catatan Singkat

Sudah lebih dari empat dekade diskursus tentang perempuan dan kehutanan komunitas (community forestry) dikumandangkan. Di Indonesia, baru di Provinsi Bengkulu terdapat kelompok perempuan yang berhasil mendapatkan legalitas hak akses, partisipasi, kontrol dan manfaat hutan melalui Perhutanan Sosial.

Narasi Konservasi Berbasis Hak Perempuan Kian Menguat

Tahun 2020 yang dilanda pandemi Covid 19 tidak hanya dicatat sebagai tahun yang memberatkan. Tahun 2020 juga dicatat sebagai tahun yang kian menyadarkan bahwa dampak kerusakan lingkungan…

Mengapa Lumbung Padi Tak Lagi Dipakai Petani Bengkulu

Dahulu di sejumlah wilayah Bengkulu begitu mudah ditemui lumbung padi. Tradisi menjaga ketahanan pangan ini arif dipertahankan beberapa tahun silam. Namun kini, sayang konsep tradisional yang mampu menjaga ketersediaan pangan itu memudar dan beberapa sudah menghilang.

Adaptasi Iklim dan Demam Berdarah, Kenapa Perlu Dibicarakan

Perubahan iklim mengubah segalanya. Nyamuk kini bahkan jauh lebih ganas dan berbahaya. Mereka menyerang tak mengenal waktu dan bisa membunuh siapa pun yang menyepelekan dampak dari perubahan iklim saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *