Adaptasi Iklim dan Demam Berdarah, Kenapa Perlu Dibicarakan

Perubahan iklim mengubah segalanya. Nyamuk kini bahkan jauh lebih ganas dan berbahaya. Mereka menyerang tak mengenal waktu dan bisa membunuh siapa pun yang menyepelekan dampak dari perubahan iklim saat ini.

LivE Knowledge – Empat tahun terakhir, 2013–2016, jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kota Bengkulu meningkat. Kenaikannya bahkan dilaporkan mencapai 400 persen pada tahun 2016 dengan sebelas orang meninggal hingga akhir Desember. “Yang meninggal kebanyakan anak-anak,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu Herwan Antoni dikutip dalam Okezone.

Menurut Upik Kesumawati Hadi, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), perubahan iklim telah mengubah perilaku nyamuk Aedes aegypti,vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD).

“Kehidupan Aedes aegypti dipengaruhi oleh perubahan iklim. Jika suhu meningkat, nyamuk dapat hidup lebih aktif dan menularkan virus DBD dengan lebih cepat,” kata Upik seperti dilaporkan Antara.

Aedes aegypti adalah nyamuk yang mudah beradaptasi dengan baik. Larvanya yang semula hanya menempati habitat domestik, terutama penampungan air bersih di dalam rumah, kini mampu berkembang di wadah-wadah air yang mengandung berbagai macam polutan.

Nyamuk Aedes aegypti juga mengalami perubahan perilaku mengisap darah yang semua hanya aktif pada siang hari, kini juga aktif pada malam hari.

“Kondisi ini menuntut kita untuk lebih waspada terhadap nyamuk ini yang juga mempunyai sifat mudah terusik, mampu berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain, dan menjadi vektor yang efisien dalam meningkatkan risiko penularan DBD.”.

Penggunaan insektisida yang sama secara terus menerus dapat menimbulkan resistensi populasi melalui seleksi, yakni menghilangkan individu nyamuk yang rentan dan menyisakan individu-individu yang tahan.

“Belum lagi kemungkinan mutasi gen yang dapat terjadi akibat pemaparan terhadap insektisida. Ini dapat menjadi faktor yang menyebabkan gagalnya upaya pengendalian vektor.”

Penting untuk memahami bioekologi nyamuk Aedes aegypti agar masyarakat maupun dinas terkait waspada. Gaya hidup manusia modern, banyak menciptakan habitat baru bagi nyamuk Aedes untuk berkembang biak di lingkungan permukiman.

Rendahnya kepedulian dan tingginya mobilitas masyarakat juga mengakibatkan pengendalian vektor DBD tidak berjalan optimal. Sehingga perlu pendidikan dan pelatihan, mengingat kompleksnya permasalahan vektor.

Banjir perluas sebaran

Menurut Sonny P. Warouw, pejabat Kementerian Kesehatan seperti dilansir dalam Detik.com, mengatakan curah hujan yang tinggi dan kenaikan suhu telah mempengaruhi pola penyebaran nyamuk Aedes aegypti.

Ilustrasi/Nyamuk

Hujan yang datang tiba-tiba dapat menyebabkan tempat berkembang biak nyamuk semakin banyak. Cuaca hujan yang ekstrim tidak jarang mengakibatkan banjir, sehingga bisa semakin memperluas penyebaran karena telur nyamuk akan terbawa arus air.

Telur nyamuk yang hanyut akibat banjir ke daerah kering dapat bertahan selama tiga bulan dalam keadaan tidak aktif. Saat kemudian ada air, nyamuk dapat menetas dengan nafsu makan yang tinggi.

Suhu juga berperan dalam penyebaran nyamuk. Ukuran nyamuk sekarang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sehingga jangkauan terbang nyamuk semakin jauh. Dengan jangkauan terbang yang lebih jauh, nyamuk dapat menyebar ke wilayah yang lebih luas.

Peneliti dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia Budi Haryanto juga membenarkan bahwa populasi nyamuk bertambah banyak akibat perubahan iklim.

“Curah hujan yang tinggi dan peningkatan suhu udara mempercepat perkembangbiakan nyamuk sehingga jumlahnya pun makin meningkat,” kata Budi dilansir femina.co.id.

Tak cuma itu, bahkan kata dia, nyamuk Aedes aegypti pun telah mengalami mutasi. Jika dulu hanya nyamuk Aedes yang menelan darah yang terinfeksi saja yang bisa menularkan virus, kini sejak lahir mereka sudah membawa virus dengue akibat masuknya virus saat proses reproduksi. Akibatnya, kasus demam berdarah makin meningkat.

Lalu, jika merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1018/Menkes/Per/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim, diketahui 10 strategi yang harus dilakukan. Setidaknya oleh Pemerintah Kota Bengkulu.

Hal itu meliputi, pertama, sosialisasi dan advokasi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim. Dua, pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim. Tiga, peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan. Empat, peraturan perundangundangan

Lalu, lima, peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan, khususnya daerah rentan perubahan iklim. Enam, peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang kesehatan.

Kemudian ketujuh, peningkatan pengendalian dan pencegahan penyakit akibat dampak perubahan iklim. Delapan, peningkatan kemitraan. Sembilan, peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim sesuai kondisi setempat; dan kesepuluh,  peningkatan surveilans dan sistem informasi.

Related Posts

Hutan, Pangan, Hak Perempuan dan Otobiografi

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Membentang di wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Bengkulu dengan luas mencapai 1,4…

Perempuan dan Kehutanan Komunitas di Indonesia: Sebuah Catatan Singkat

Sudah lebih dari empat dekade diskursus tentang perempuan dan kehutanan komunitas (community forestry) dikumandangkan. Di Indonesia, baru di Provinsi Bengkulu terdapat kelompok perempuan yang berhasil mendapatkan legalitas hak akses, partisipasi, kontrol dan manfaat hutan melalui Perhutanan Sosial.

Narasi Konservasi Berbasis Hak Perempuan Kian Menguat

Tahun 2020 yang dilanda pandemi Covid 19 tidak hanya dicatat sebagai tahun yang memberatkan. Tahun 2020 juga dicatat sebagai tahun yang kian menyadarkan bahwa dampak kerusakan lingkungan…

Mengapa Kita Tidak Belajar dari Ibu Suminah?

Cuma di Bengkulu ada usaha pembuatan sepatu buatan tangan yang menggunakan pelepah pisang sebagai bahan bakunya. Karya unik ini bahkan sudah merambah Eropa dan China. Sepatu ini dianggap sebuah produk yang berwawasan lingkungan dan lahir dari seorang perempuan yang cuma hendak memanfaatkan limbah yang banyak di sekitar rumahnya. Siapa perempuan ini?

Mengapa Lumbung Padi Tak Lagi Dipakai Petani Bengkulu

Dahulu di sejumlah wilayah Bengkulu begitu mudah ditemui lumbung padi. Tradisi menjaga ketahanan pangan ini arif dipertahankan beberapa tahun silam. Namun kini, sayang konsep tradisional yang mampu menjaga ketersediaan pangan itu memudar dan beberapa sudah menghilang.

Mereka Petani Berdasi si Perampas Tanah

Jumlah petani di Indonesia menyusut drastis. Pengurangan itu pun sejalan dengan berkurangnya lahan. Di sisi lain, muncul petani-petani berdasi yang tak pernah kenal lumpur dan kerbau. Namun kini petani inilah yang kini menjadi penguasa lahan. Mereka juga menguasai orang untuk dijadikan petani sekaligus buruh di bekas lahan milik mereka. Siapa mereka? Simak catatan berikut:

This Post Has 2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *