Mengapa Lumbung Padi Tak Lagi Dipakai Petani Bengkulu

Dahulu di sejumlah wilayah Bengkulu begitu mudah ditemui lumbung padi. Tradisi menjaga ketahanan pangan ini arif dipertahankan beberapa tahun silam. Namun kini, sayang konsep tradisional yang mampu menjaga ketersediaan pangan itu memudar dan beberapa sudah menghilang.

LivE Knowledge – Peluh masih mengucur di antara pelipis dan dagu Wak Thamrin. Pagi menjelang siang, tiga petak sawah miliknya baru usai ditanami bibit padi baru.

Bersama istrinya, Rubiah, ia bergantian mencucukkan batang padi setinggi 10 centimeter ke petak sawah berlumpur di Desa Lubuk Resam Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu.

Bagi Wak Thamrin, sawah adalah segalanya. Berpuluh tahun, ia hidup bersama empat anaknya yang kini sudah dewasa dari sepuluh bidang sawah miliknya.

Sepuluh tahun silam. Sawah-sawah itu, memang menggiurkan. Hasil panen melimpah ruah. Bahkan dari setiap kali panen, mereka bisa ‘menabung’ beras untuk dua tahun.

Itu pun belum ditambah dengan beras yang dibagi-bagi dan dijualnya di pasar. Sehingga memang sawah menjadi nadi bagi keluarga dari suku Serawai ini.

“Tapi itu dulu. Kini susah. Panen kami tak lagi melimpah. Dari dua kali tanam setahun, sekalinya bisa gagal. Atau kalaupun sukses, bulir padinya banyak yang ompong (kosong),” cerita Wak Thamrin.

Keluh Wak Thamrin seragam dengan warga lainnya. Kini, desa yang hanya memiliki 75 kepala keluarga itu, separuhnya sudah meninggalkan sawahnya dan menggantikannya dengan tanaman keras seperti karet atau sawit.

Orang desa sudah enggan menanami sawah. Gagal panen dan musim yang beubah-ubah, membuat penduduk malas bersusah payah menceburkan diri ke lumpur sawah.

Dulu, menurut Wak Thamrin, meski desa mereka terpelosok jauh di dalam hutan dan hanya bisa diakses lewat berjalan kaki sehari penuh dari kecamatan. Desa mereka menjadi lumbung penghasil beras.

Lumbung-lumbung padi yang terbuat dari bangunan kayu ataupun semen, bertebaran di sekitar desa. Setiap hajatan besar, warga bisa urunan menyumbang beras dari lumbung padinya.

Namun kini semua berubah. Lumbung-lumbung penyimpan padi sudah ditinggalkan. Bangunannya dibiarkan rusak dan terbengkalai di pinggiran desa.

Beberapa diantaranya bahkan sudah lapuk dan rusak karena dimakan rayap dan usia. “Lumbung jadi sarang tikus dan rayap. Beberapa diantaranya sudah dirobohkan untuk dibuat rumah,” ujar Wak Thamrin.

Iklim berubah

Berpuluh tahun lalu, jauh sebelum Desa Lubuk Resam dinobatkan menjadi desa. Tata pranata dusun diatur oleh para ‘Jungku’. Yakni para pemangku adat yang dipercaya memiliki kelebihan khusus.

Para Jungku ini mengatur setiap norma kehidupan. Mulai dari masalah moral, etika hingga pun masa bercocok tanam bagi warga dusun.

Mereka, selalu memulainya dengan rapat di rumah ketua Jungku. Sehingga setiap keputusan selalu merujuk ke rapat dusun ataupun merujuk pada pertanda alam untuk hal-hal yang berkaitan dengan tanaman.

Karena itu, bertani bagi sebagian warga memang bukan sekadar bercocok tanam biasa. Namun juga sebuah konsep sakralitas dan berhubungan langsung dengan fenomena alam.

Sebab itu pula seorang Jungku dituntut memang harus memiliki kemampuan membaca pertanda alam. Agar masa panen dan tanam tak membuat rugi penduduknya.

“Semua dilakukan dengan sakral. Dari mulai jadwal menanam hingga pun panen, dilakukan dengan tertib. Tak bisa sembarangan,” ujarnya.

Seorang petani membersihkan gabah dari sisa batang padi saat panen di desa Narumonda Lima, Siantar Narumonda, Toba Samosir, Sumut, Selasa (23/7/2013)/ANTARA/Septianda Perdana

Tahun berjalan, tradisi leluhur ini pun kini diabaikan. Jungku-jungku sudah tergantikan dengan peran kepala desa dan perangkatnya.

Sejalan dengan itu, keahlian membaca pertanda alam dan musim pun ikut tergerus. Tradisi berubah selaras dengan berubahnya iklim.

Para mantan jungku dan warga desa sudah tak terampil lagi membaca fenomena alam. Bercocok tanam pun akhirnya menjadi sebuah kegiatan rutin sekadar memenuhi kebutuhan perut dan duit.

Panen-panen banyak yang gagal. Jadwal yang dahulunya tertib kini tak beraturan. Musim hujan dan kemarau yang biasanya bisa terdeteksi, sudah sangat sulit untuk dirapal.

“Kami tak bisa lagi membaca kapan musim tanam, kapan musim banyak tikus dan burung dan kapan waktunya berlibur di rumah,” kenang Wak Thamrin.

Ancaman rawan pangan

Kini, hampir separuh penduduk Desa Lubuk Resam, masih menggantung nasib di hamparan tanah dan hutan yang mereka miliki.

Beberapa pemuda mulai meninggalkan desa dan mengadu peruntungan sebagai pekerja di luar. Sedikit yang beruntung menjadi pekerja kantoran, sisanya mengandalkan otot di pasar ataupun pelabuhan.

Tanah desa ditinggalkan untuk para orang tua yang sudah tak cukup kuat untuk mengadu nasib. Sawah dan ladang dikelolah tak lagi merujuk ke musim. Namun sudah berdasarkan kebutuhan pasar.

“Jadi kalau cabai naik, tanam cabai. Kalau ada kabar karet naik, semua mulai tanam karet. Padi sawah paling cuma untuk berjaga-jaga agar tak kelaparan saja,” ujar warga desa lainnya Suhirman.

Lubuk Resam pun jauh berubah. Apalagi sejak dibukanya akses ke desa ini dengan kendaraan berat pada delapan tahun lalu.

Dari yang dulunya cuma seminggu sekali ada kendaraan, kini sudah berubah menjadi setiap hari meski hanya maksimal hingga pukul 16.00.

Lampu-lampu listrik berpendaran di setiap rumah. Lampu minyak ditinggalkan di pondok-pondok sawah dan ladang kalau sedang bermalam.

Urunan beras saat pesta pernikahan pun menjadi tak zaman. Paling cuma dilakukan segelintir orang lagi. Beberapa warga kini lebih memilih memberi kado kepada pengantin. Praktis dan tak merepotkan.

Dari kejauhan, bidang-bidang sawah terlihat sudah tertutup oleh pucuk-pucuk karet. Sisanya berhamparan pelepah sawit kecil yang sedang menunggu siap panen entah berapa tahun lagi.

“Zaman berubah. Iklim berubah. Langit berubah, pemerintah berubah. Jam juga berubah. Warga kami pun berubah. Biasalah namanya kemajuan zaman,” ujar Wak Thamrin.

* Tulisan ini pernah ditayangkan di laman portal berita  VIVA.co.id

* Punya informasi/pengetahuan yang bisa dibagikan ke publik biar memberi inspirasi, kirimkan ke alamat surel kami di liveknowledge@hotmail.com

Related Posts

Panggilan untuk Berkontribusi dan Berkolaborasi: Memberdayakan Perempuan Petani Kopi untuk Membangun Kebun Kopi Tangguh Iklim

Kopi robusta merupakan salah satu tanaman perkebunan yang memiliki peran strategis bagi Provinsi Bengkulu. Secara nasional, Provinsi Bengkulu merupakan provinsi dengan areal perkebunan kopi robusta rakyat terluas…

Hutan, Pangan, Hak Perempuan dan Otobiografi

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Membentang di wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Bengkulu dengan luas mencapai 1,4…

Perempuan dan Kehutanan Komunitas di Indonesia: Sebuah Catatan Singkat

Sudah lebih dari empat dekade diskursus tentang perempuan dan kehutanan komunitas (community forestry) dikumandangkan. Di Indonesia, baru di Provinsi Bengkulu terdapat kelompok perempuan yang berhasil mendapatkan legalitas hak akses, partisipasi, kontrol dan manfaat hutan melalui Perhutanan Sosial.

Narasi Konservasi Berbasis Hak Perempuan Kian Menguat

Tahun 2020 yang dilanda pandemi Covid 19 tidak hanya dicatat sebagai tahun yang memberatkan. Tahun 2020 juga dicatat sebagai tahun yang kian menyadarkan bahwa dampak kerusakan lingkungan…

Mengapa Kita Tidak Belajar dari Ibu Suminah?

Cuma di Bengkulu ada usaha pembuatan sepatu buatan tangan yang menggunakan pelepah pisang sebagai bahan bakunya. Karya unik ini bahkan sudah merambah Eropa dan China. Sepatu ini dianggap sebuah produk yang berwawasan lingkungan dan lahir dari seorang perempuan yang cuma hendak memanfaatkan limbah yang banyak di sekitar rumahnya. Siapa perempuan ini?

Adaptasi Iklim dan Demam Berdarah, Kenapa Perlu Dibicarakan

Perubahan iklim mengubah segalanya. Nyamuk kini bahkan jauh lebih ganas dan berbahaya. Mereka menyerang tak mengenal waktu dan bisa membunuh siapa pun yang menyepelekan dampak dari perubahan iklim saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *