Mereka Petani Berdasi si Perampas Tanah

Jumlah petani di Indonesia menyusut drastis. Pengurangan itu pun sejalan dengan berkurangnya lahan. Di sisi lain, muncul petani-petani berdasi yang tak pernah kenal lumpur dan kerbau. Namun kini petani inilah yang kini menjadi penguasa lahan. Mereka juga menguasai orang untuk dijadikan petani sekaligus buruh di bekas lahan milik mereka. Siapa mereka? Simak catatan berikut:

Harry Siswoyo

“Petani Tiongkok Serbu Bogor” demikian judul tiras sebuah media cetak yang terbit pada Rabu, 9 November 2016, dan tersebar ke berbagai penjuru kota. Ini mengejutkan. “Sebentar lagi tanah-tanah ini dikuasai Cina,” demikian respons salah satu akun di linimassa.

Empat kata itu memang menghenyak. Ia bak merangsang emosi dan menyulut kebencian. Padahal, jika menelusur ke paragraf pertama. Dengan jelas kemudian tertulis bahwa yang dimaksud ‘penyerbu’ itu jumlahnya ternyata empat orang.

Ya persis.. empat orang. Tak lebih tak kurang. ‘Penyerbu’ itu memang empat orang. Dan mereka bercokol di sebuah kabupaten yang memiliki luas 2.071,21 kilometer persegi atau sekira tiga kali lebih luas dibanding Singapura dan memiliki penduduk sebanyak 4,8 juta jiwa.

Absurd memang. Namun apa pun itu, ini bukan soal serbu menyerbu itu. Ini juga bukan soal bagaimana media ini menyulap kata sedemikian rupa hingga begitu menakutkan. Ini soal fakta bahwa memang ada orang Cina yang bertanam cabai.

Konon mereka memiliki lahan seluas 20 hektare dan baru tergarap empat hektare. Dengan jumlah pekerja 38 orang lokal, yang terdiri delapan perempuan dan 30 laki-laki. Orang-orang Tiongkok itu memang bercocok tanam.

Satu dari empat orang itu bahkan sudah 10 tahun di Indonesia hanya untuk bercocok tanam cabai. Ya, jauh-jauh dari Cina cuma untuk bertani. Mengharukan bukan? Tapi maaf, ini bukan mengulik cerita sukses petani Tiongkok tersebut. Bukan pula membahas jenis cabainya. Upah buruhnya atau pun hingga ke soal kemana cabai-cabai itu berlari.

Ini adalah soal petani. Ya, petani atau mereka yang bekerja di sektor pertanian. Namun bukan untuk tanaman industri seperti sawit, karet, kopi dan jati. Ini tentang petani padi, pasukan penyedia nasi di setiap periuk orang Indonesia.

Petani Bangkrut

Ada fakta mengejutkan yang pernah dirilis oleh Badan Pusat Statistik sekira tiga tahun lalu. Singkat hasilnya begini, ada 5,04 juta petani kita raib. Ya hilang, dikarenakan alih profesi ke industri atau lainnya. Angka 5,04 juta itu didapat dari penurunan jumlah petani tahun 2013 yang mencapai 26,13 juta dibanding tahun 2003 atau sepuluh tahun silam yang mencapai 31,17 juta. “Rata-rata penurunan 1,75 persen per tahun. Ini karena banyak (petani) yang beralih ke industri,” kata Kepala BPS Suryamin waktu itu.

Di tahun 2016, jumlahnya kembali mengejutkan. Dari data Serikat Petani Indonesia (SPI) bahkan merinci ada 1,83 juta jiwa tenaga kerja pertanian juga ikut menghilang. Ironisnya itu terjadi cuma dalam kurun waktu setahun antara Februari 2015 sampai Februari 2016.

Kata SPI, dari 40,12 juta untuk tahun 2015, berubah menjadi 38,29 juta jiwa. “Ini berarti bertani tidak menarik lagi,” kata Henry Saragih, Ketua Umum SPI.

Tiga tahun lalu, saya masih mencatat soal apa yang disampaikan Suswono, mantan Menteri Pertanian era Presiden SBY. Ia menyebut, Indonesia termasuk negara yang memiliki masalah pelik dalam ketersediaan pangan. Kata dia waktu itu, petani kita cuma punya lahan sawah paling 0,3 hektare dan yang menyedihkannya lagi dengan lahan secuil itu ternyata kegagalan panen juga tinggi.

Mengharukan tidak? Jadi mahfum kan kalau sampai 2016, Indonesia masih mengimpor beras dan terus meningkat. Setidaknya data terakhir pada Juli 2016, ada US$447,7 juta impor beras telah diguyur ke Indonesia. Jumlah itu meningkat dibanding tahun 2015 yang hanya US$351,6 juta.

Pekerja melakukan bongkar muat di gudang beras Bulog Sub Divre V Kediri, Desa Paron, Kediri, Jawa Timur, Rabu (2/11/2016)/ANTARA FOTO

Petani Berdasi

Yah, singkatnya begini. Indonesia itu negara agraris (konon), lahan melimpah, tapi beras tidak ada. Petaninya miskin, anak mudanya sombong tak mau jadi petani dan makan nasinya banyak.

Simple-nya, kita memang sudah babak belur soal beras-berasan. Karena itu nyambungkan mengapa kini pemerintah mulai menjargonkan isu Ketahanan Pangan di berbagai wilayah. Mulai dari polisi, TNI sampai pejabat sering ngomong-ngomong soal ini. Pertanian rakyat kita memang sudah rapuh.

Tanya ke petani dimana pun, tak jauh obrolannya dari keluhan. Dari harga-lah, pupuk-lah dan kemarau-lah. Tidak ada yang memamerkan kesejahteraan dan kebanggan mereka bertani.

Lalu, bagaimana nasib petani kedepannya? Besar kemungkinan, petani-petani ini terus berkurang. Ketakutan soal 20 tahun lagi tidak akan ada lagi petani di Indonesia bisa saja terjadi. Namun demikian, di balik kondisi menakutkan itu. Kini, mulai muncul petani-petani baru. Namun bedanya mereka berdasi. Ya, petani berdasi yang berlindung di korporat. Bajunya bersih dan tidak pernah memegang kerbau atau lumpur.

Cuma memang mereka memiliki ribuan hektar sawah. Di bawah naungan korporasi, petani-petani ‘keren’ ini kini telah menguasai sejumlah lahan. Salah satu yang kini tengah digarap petani berdasi ini terjadi di Merauke.

Di tanah Papua yang menjadi proyek pemerintah bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), petani-petani ini berkuasa. Konon mereka memiliki misi akan menyediakan lumbung beras baru untuk Indonesia. Tak cuma itu, disebutkan target kedepan, Indonesia juga akan bisa mengekspor beras seperti tetangga, Thailand dan Vietnam.

Tapi sekali lagi, bukan ini masalahnya. Bukan ini. Sadar tidak kalau petani berdasi inilah yang kemudian akan mencuri tanah-tanah orang kecil. Sadar tidak, kini artinya masalah petani itu bukan cuma kemarau, modal dan hama? Namun juga ada petani berdasi.

Dan kemudian sadar tidak kalau besok-besok, petani-petani ini akan jadi buruh di lahan mereka sendiri. Karena itu, abaikanlah debat soal bom dan segala macamnya. Lupakan juga Ahok dan mulut busuknya. Abaikan juga soal sekelompok mahasiswa pemula yang isi kepalanya ricuh terus.

Mari ngopi ke petani. Sadarkan kalau tanah-tanah itu akan dirampas petani berdasi. Dan sadarkan juga kalau periuk nasi sebentar lagi kering. Atau mungkin pilihan lainnya, mari bertani.

Penulis:

Harry Siswoyo adalah jurnalis yang menggemari isu tentang lingkungan hidup, sumber daya alam, sosial, dan budaya.

* Seluruh tulisan ini adalah pendapat pribadi dan menjadi tanggung jawab penulis.

* Tulisan ini disadur dari catatan Facebook penulis.

Related Posts

Hutan, Pangan, Hak Perempuan dan Otobiografi

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Membentang di wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Bengkulu dengan luas mencapai 1,4…

Perempuan dan Kehutanan Komunitas di Indonesia: Sebuah Catatan Singkat

Sudah lebih dari empat dekade diskursus tentang perempuan dan kehutanan komunitas (community forestry) dikumandangkan. Di Indonesia, baru di Provinsi Bengkulu terdapat kelompok perempuan yang berhasil mendapatkan legalitas hak akses, partisipasi, kontrol dan manfaat hutan melalui Perhutanan Sosial.

Narasi Konservasi Berbasis Hak Perempuan Kian Menguat

Tahun 2020 yang dilanda pandemi Covid 19 tidak hanya dicatat sebagai tahun yang memberatkan. Tahun 2020 juga dicatat sebagai tahun yang kian menyadarkan bahwa dampak kerusakan lingkungan…

Mengapa Kita Tidak Belajar dari Ibu Suminah?

Cuma di Bengkulu ada usaha pembuatan sepatu buatan tangan yang menggunakan pelepah pisang sebagai bahan bakunya. Karya unik ini bahkan sudah merambah Eropa dan China. Sepatu ini dianggap sebuah produk yang berwawasan lingkungan dan lahir dari seorang perempuan yang cuma hendak memanfaatkan limbah yang banyak di sekitar rumahnya. Siapa perempuan ini?

Mengapa Lumbung Padi Tak Lagi Dipakai Petani Bengkulu

Dahulu di sejumlah wilayah Bengkulu begitu mudah ditemui lumbung padi. Tradisi menjaga ketahanan pangan ini arif dipertahankan beberapa tahun silam. Namun kini, sayang konsep tradisional yang mampu menjaga ketersediaan pangan itu memudar dan beberapa sudah menghilang.

Adaptasi Iklim dan Demam Berdarah, Kenapa Perlu Dibicarakan

Perubahan iklim mengubah segalanya. Nyamuk kini bahkan jauh lebih ganas dan berbahaya. Mereka menyerang tak mengenal waktu dan bisa membunuh siapa pun yang menyepelekan dampak dari perubahan iklim saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *