Imini (47) warga Desa Tanjungan, Kabupaten Seluma sempat merasa agak canggung mengaku sebagai perempuan petani saat ditemui pada Kamis (19/5/21). Sejak kebun milik rumah tangganya yang ditanami beragam tanaman hortikultura dikonversi ke sawit monokultur pada tahun 2001, dia menjadi jarang ke kebun. “Sehari-hari lebih banyak di rumah,” kata Imini. Namun, tak jarang dia juga mencari pekerjaan sebagai buruh tani harian di kebun orang lain untuk memperoleh tambahan pendapatan guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga, terutama sayur-sayuran. “Tidak tahan kalau tidak makan sayur.”
Tidak berbeda dengan Sahana (48), warga Desa Tanjungan lainnya. Dia sudah tidak lagi menanam beragam tanaman hortikultura di kebun milik rumah tangganya setelah dikonversi ke sawit monokultur pada tahun 2018. Selain mencari upah harian sebagai buruh tani untuk memperoleh tambahan pendapatan guna memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, dia juga menanam beragam sayuran di perkarangan rumah untuk mengurangi pengeluaran. “Di sini, kalau kebun sudah ditanami dengan sawit, tidak lagi ditanami dengan tanaman lain,” kata Sahana.
Kerawanan Pangan hingga Kekerasan
Kisah tentang melemahnya atau menjadi terbatasnya akses dan kontrol perempuan petani atas lahan budidaya akibat konversi sawit monokultur tidak hanya dialami oleh Imini dan Sahana. Kisah serupa, bahkan kisah tentang tersingkir dari lahan budidaya akibat konversi sawit monokultur, dialami oleh banyak perempuan petani. “Dalam situasi ketika perempuan bergantung pada lahan bersama sebagai sumber daya utama keluarga, penyediaan pangan dan perawatan kesehatan, dampak konversi sawit jadi lebih merugikan pada perempuan di posisi tersebut,” tulis Basnett dkk.1.
Pergeseran penghidupan ke sawit monokultur, menurut Santika dkk.2, telah menyebabkan peningkatan kasus malnutrisi pada rumah tangga petani. Perubahan ke sawit monokultur menurunkan jumlah tanaman pangan yang ditanam di lahan budidaya. Terutama pada waktu konversi sawit dilakukan, rumah tangga petani menghadapi masalah kekurangan pangan. Bahkan ketika perkebunan mulai berproduksi, lanjut Santika dkk., tidak menjamin perolehan pendapatan digunakan untuk memperbaiki nutrisi.
Balde dkk.3 juga mengungkapkan, kendati pendapatan rumah tangga petani sawit lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga petani tradisional, namun rumah tangga petani sawit lebih rawan pangan dibandingkan dengan rumah tangga petani tradisional, khususnya terkait keragaman pangan dan kadar nutrisi pangan. Rata-rata jumlah bulan rumah tangga petani sawit tidak mampu menyediakan pangan yang memadai, tambah Balde dkk., juga lebih lama dibandingkan dengan rumah tangga petani tradisional.
Selain itu, Purwestri dkk.4 mengungkapkan, perempuan dan anak dari rumah tangga sawit lebih sedikit mengonsumsi buah dan sayur dan lebih banyak mengonsumsi makanan olahan yang dapat mengancam kesehatan dibandingkan dengan perempuan dan anak dari rumah tangga petani tradisional. Jumlah kasus anak di bawah lima tahun yang kurus dan perempuan mengalami anemia, sambung Purwestri dkk., juga lebih tinggi terjadi pada rumah tangga sawit dibandingkan dengan rumah tangga petani tradisional.
Namun, dampak perkebunan sawit terhadap perempuan dan anak tidak hanya terkait hilangnya pangan. Jiwan5 mengemukakan, dampak lain yang juga dapat merugikan perempuan dan anak meliputi hilangnya pendapatan dari kebun, hilangnya sistem sosial budaya dan pengetahuan lokal, peningkatan waktu dan upaya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga akibat hilangnya akses ke air bersih dan memadai dan kayu bakar, peningkatan biaya pengobatan karena hilangnya akses ke tanaman obat dari kebun, dan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak-anak karena meningkatnya tekanan sosial dan ekonomi.
Agroforestri Sawit dan Berbagai Kelebihannya
Umumnya perkebunan sawit berpola monokultur. Namun, tidak sedikit petani sawit skala kecil berinisiatif mengembangkan agroforestri (polikultur atau kebun campur) sawit. Bahkan, sebagian pelakunya adalah perempuan. Di Uganda, menurut Namanji dkk.6, perempuan petani sawit skala kecil juga menanam tanaman lainnya seperti pisang, jagung, tebu, singkong, ubi jalar, kacang-kacangan dan bayam di kebun sawit. Selain menjaga ketahanan pangan, tambah Namanji dkk., alasan perempuan petani sawit skala kecil mengembangkan agroforestri sawit adalah mendiversifikasi pendapatan, mengurangi biaya penyiangan gulma, menjaga kesehatan lingkungan, mengurangi erosi tanah, dan berbagi ide tentang pilihan pemasaran dan modal sosial.
Begitu pula di Kamerun, menurut Nchanji dkk.7, perempuan petani sawit skala kecil juga menanam tanaman lainnya seperti pisang, pisang raja, uwi, singkong, talas, jagung, egusi, kacang tanah, huckleberry kebun, daun afrika dan bayam di kebun sawit. Alasan mereka mengembangkan agroforesri sawit antara lain penyediaan pangan sehari-hari, memperoleh pendapatan untuk mengatasi pembiayaan rumah tangga lainnya seperti pendidikan dan kesehatan, memaksimalkan penggunaan lahan, meningkatkan dampak pemupukan, menjaga struktur tanah, dan mengurangi biaya pemeliharaan. “Pendapatan yang diperoleh biasanya digunakan untuk kepentingan rumah tangga secara umum dan meningkatkan nutrisi keluarga.”
Di Jambi, Muryunika8 mengungkapkan, petani sawit skala kecil juga menanam tanaman lainnya di kebun sawit. Jenis tanaman yang ditanam meliputi karet, gaharu, sungkai, pulai, jati, jelutung, mahoni, meranti, sengon, nangka, mangga, durian, rambutan, alpukat, duku, jambu bol, cempedak, jengkol, pete, kakao, jeruk, pinang, cengkeh, kemiri, kapulaga, cabai, lada, pisang, kedelai, jagung, singkong, dan tanaman hortikultura. Selain untuk pemenuhan konsumsi rumah tangga, tambah Muryunika, alasan petani sawit skala kecil mengembangkan agroforestri sawit antara lain meningkatkan pendapatan, investasi (kayu pertukangan), teknik budidaya relatif sederhana, menjaga sumber mata air, dan meningkatkan kesuburan tanah.
Di Kalimatan Tengah, Slingerland dkk.9 mengungkapkan, petani sawit skala kecil juga menanam karet, pepohonan penghasil buah seperti durian dan mangga, dan pohon kayu seperti sengon di kebun sawit. Sedangkan di Malaysia, sambung Slingerland dkk., agroforestri sawit dikembangkan dengan menanam tanaman lain seperti padi, kacang merpati, singkong, lada, kacang tanah, karet, kakao dan pakan ternak. “Petani kecil telah bereksperimen dengan mendiversifikasi terhadap kebun sawit monokultur untuk memenuhi kebutuhan penghidupan mereka dengan lebih baik, dengan hasil negatif yang diamati pada hasil sawit maupun tanaman campuran.”
Eksperimen Gérard dkk.10 di Jambi yang mengembangkan agroforestri sawit dengan menanam satu hingga enam jenis pohon lokal atau asli sumatera seperti petai, jengkol, durian, sungkai, meranti bunga dan jelutung di kebun sawit monokultur juga membuktikan bahwa pengkayaan keanekaragaman hayati di kebun sawit bisa menghasilkan sinergi antara fungsi ekonomi dan ekologi. Gerard dkk. mengemukakan, diversifikasi tanaman dapat mengurangi risiko fluktuasi pendapatan yang besar, membantu meningkatkan ketangguhan terhadap iklim dan perubahan lingkungan lainnya, dan meningkatkan ketahanan pangan dan kualitas nutrisi bagi penduduk lokal.
Pengembangan agroforestri sawit, Bhagwat dan Willis11 menambahkan, bisa menjadi solusi yang menjanjikan untuk memastikan perkebunan sawit juga mendukung konservasi keanekaragaman hayati. “Pertama, ketika sawit ditanam di kebun campur daripada kebun monokultur, sistem ini dapat menyediakan habitat bagi spesies penghuni hutan. Kedua, kebun campur di lansekap dapat berperan sebagai penyangga dan koridor penghubung kawasan hutan yang dilindungi yang jauh. Ketiga, sumber daya hutan yang tersedia di kebun campur dapat memberikan penghidupan bagi penduduk lokal.”
Oleh karena itu, menurut Meijaard dkk.12, uji coba-uji coba praktis sawit polikultural untuk meningkatkan hasil lingkungan dan keanekaragaman hayati sekaligus mempertahankan hasil panen sawit sangat penting untuk dilakukan. “Mengingat bahwa pertanian skala kecil juga merupakan pemicu besar dari deforestasi, penting untuk menentukan apakah hal ini lebih sedikit mendorong hilangnya keanekaragaman hayati saat ditanam campur dengan pohon dan tanaman pertanian (agroforestri) dibandingkan saat ditanam sebagai monokultur.”
Selain itu, Ahmed dkk.13 menambahkan, pengembangan agroforestri sawit juga bisa menjadi strategi bagi petani sawit skala kecil untuk menghadapi dampak perubahan iklim. “Perubahan iklim telah mempengaruhi produksi sawit secara langsung atau tidak langsung. Dampaknya diwujudkan dalam tren peningkatan suhu, variabilitas curah hujan, kejadian cuaca ekstrem dan dampak hama dan penyakit.” Tanaman lain yang ditanam di kebun sawit, menurut Ahmed dkk., bisa berfungsi sebagai sarana diversifikasi penghidupan dan penghasil tambahan pendapatan petani.
Butuh Dukungan Kebijakan
Meski tidak bersertifikasi, menurut Azhar dkk.14, petani sawit skala kecil seringkali lebih ramah keanekaragaman hayati daripada perkebunan sawit skala besar yang bersertifikasi. Namun, skema sertifikasi hanya dapat diakses secara finansial oleh perkebunan skala besar yang beroperasi secara monokultur berbasis keuntungan. Oleh karena itu, pengembangan skema sertifikasi alternatif untuk petani sawit skala kecil yang ramah keanekaragaman hayati menjadi penting untuk dipertimbangkan. “Perhatian yang lebih besar harus ditujukan kepada produksi minyak sawit bebas deforestasi di perkebunan skala kecil….”
Dhandapani dkk.15 juga menyarankan perubahan kebijakan sertifikasi untuk mendorong praktik agroforestri oleh petani sawit skala kecil dengan memberikan instentif atau membuat sertifikasi lebih mudah dijangkau. Dengan mempertimbangkan 40% perkebunan sawit adalah perkebunan skala kecil, perubahan kebijakan sertifikasi bagi perkebunan skala kecil berpotensi memberikan dampak signifikan. Oleh karena itu, apa yang dikemukakan Budiadi dkk.16, “…belum ada lembaga, baik pemerintah dan non-pemerintah yang mempromosikan dan memfasilitasi adopsi agroforestri sawit, meskipun sistem ini telah dipraktikkan terutama oleh petani kecil”, perlu untuk disikapi.
Untuk mendorong agroforestri sawit, Muryunika mengemukakan berbagai upaya yang bisa dilakukan oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah. Berbagai upaya tersebut meliputi memfasilitasi penelitian untuk menghasilkan desain dan skenario pengelolaan agroforestri yang sesuai di lahan kebun sawit, merumuskan kebijakan dalam mendukung pengelolaan agroforestri sebagai bentuk pengelolaan berkelanjutan, mengembangkan insentif dengan regulasi yang mendukung agroforestri, memfasilitasi pendidikan dan pelatihan, membentuk kelompok petani andalan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak atas informasi.
Pemberdayaan Perempuan Petani Sawit Skala Kecil
Memiliki akses ke lahan, menurut Doss dkk.17, berarti perempuan dapat menggunakan lahan untuk menghasilkan pangan bagi keluarga dan bisa menjual kelebihan panen. Dalam beberapa hal, Morgan18 menambahkan, memiliki kontrol atas lahan memberikan perempuan beberapa tingkat agensi atau kekuasaan pengambilan keputusan atas keputusan sehari-hari terkait penghidupan mereka, seperti tanaman apa saja yang akan ditanam dan berapa banyak untuk dikerjakan. Menurut Li19, mempertahankan berbagai sumber pendapatan dan pilihan realistis untuk beragam penghidupan berbasis pertanian merupakan dimensi penting dari keadilan gender.
Toumbourou dan Dressler20 mengungkapkan, terbatasnya akses dan kontrol perempuan atas lahan dan sumber daya penghidupan tidak hanya meningkatkan ketergantungan perempuan terhadap suami dan laki-laki pembuat keputusan, tetapi juga mendevaluasi peran aktif perempuan sebagai petani. Dalam konteks perkebunan sawit skala kecil, terbatasnya akses dan kontrol perempuan atas lahan juga berarti terbatasnya atau bahkan hilangnya kesempatan perempuan sebagai petani untuk berperan aktif menjawab berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan kebun sawit berkelanjutan.
Oleh karena itu, Elmhirst dkk.21 menyarankan agar tidak hanya memfokuskan perhatian dan mendorong perusahaan sawit untuk mengadopsi prinsip-prinsip pengarusutamaan gender karena berkemungkinan akan melewatkan seluruh lapisan tata kelola sawit dimana sebagian besar pengecualian gender ditemukan. “Pada kategori perkebunan swadaya skala kecil yang sedang meningkat…inilah perhatian perlu difokuskan untuk mengeksplorasi berbagai pilihan dan strategi…untuk mempromosikan hak dan kepentingan perempuan….”
Dengan demikian, memberdayakan perempuan petani sawit skala kecil untuk mengembangkan agroforestri sawit bisa menjadi strategi terobosan untuk mendorong peran aktif mereka dalam menghapus ketidakadilan gender sekaligus menjaga ketahanan pangan, merawat kesehatan, meningkatkan kesejahteraan, melestarikan keanekaragaman hayati dan melawan perubahan iklim. Bila merujuk data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian22 bahwa perkebunan sawit rakyat melibatkan 2.509.214 rumah tangga (tabel 1), maka pemberdayaan perempuan petani sawit skala kecil untuk mengembangkan agroforestri sawit berpotensi memberikan kontribusi signifikan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dorong Pembentukan Kelompok
Mendengarkan kisah Imini dan Sahana, Ketua Badan Permusyawaratan Desa terpilih Desa Tanjungan, Suryati tergerak untuk mendorong para perempuan petani sawit membentuk kelompok guna mengembangkan agroforestri sawit, terutama dengan menanam tanaman hortiktultura dan pohon penghasil buah. “Ini penting (untuk dilakukan). Selain untuk mencegah kerawanan pangan, juga untuk mengurangi pengeluaran rumah tangga, dan kalau ada lebih (hasil panen) bisa dijual untuk menambah pendapatan,” kata Suryati sembari menambahkan hasil panen juga bisa dibagikan ke para warga lanjut usia untuk pemenuhan keragaman pangan dan kadar nutirisi. (**)
Referensi : Download di sini !