Kebhinekaan bukan cuma wujud dari Indonesia. Tapi ia juga merupakan ruh dari pertanian Indonesia dalam bentuk pertanian polikultur. Pola tani tradisional ini terbukti mampu membendung dampak perubahan iklim yang kini meng-global. Simak opini berikut:
Sumberdaya hayati di Indonesia sangatlah kaya. Kendati wilayah darat Indonesia hanya 1,3 persen dari seluruh wilayah darat dunia, di dalamnya terkandung 10 persen dari spesies tanaman dunia, 12 persen dari spesies mamalia, 16 persen dari spesies reptil dan amfibi dan 17 persen dari spesies burung (Bappenas dalam Barber dkk, 1997).
Bukan hanya sekadar kaya, bahkan sebagian darinya merupakan spesies endemik. Misalnya untuk jenis mamalia, dari 515 jenis yang ada, 39 persennya merupakan endemik. Demikian pula untuk spesies burung, dari 1,531 jenis, 397 jeni adalah endemik. Dan dari 477 jenis palem, 225 di antaranya terkategori endemik (Sunarto, 2003).
Kekayaan sumberdaya hayati itu telah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Indonesia. Diperkirakan sekitar 40 juta penduduk Indonesia tergantung pada keragaman hayati secara langsung untuk menyambung kehidupannya (Bapennas dalam Jahmtami, 1994). Mereka yang tinggal secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan, hidup dari mengelolanya.
Walau ditemukan beragam sistem pengelolaanya, namun memiliki ciri utama dengan mengelola beragam jenis hayati (Soemarwoto, 1983, Barber, dkk, 1997). Sehingga, tidaklah berlebihan bila mereka disebut sebagai penjaga nasib keanekaragaman hayati (Ferarro dan Kremer dalam Enters dan Anderson, 2000).
Sayangnya, industrialisasi pertanian yang dikembangkan dengan dalih pembangunan secara sistematis telah menggusur dan mengantikannya dengan sistem bercirikan keseragaman (monokultur).
Penyusutan keanekaragaman hayati pun semakin melaju. FAO menyatakan bahwa industrialisasi pertanian lah penyebab utama sehingga dalam setiap tahun sekitar 1.000 spesies hewan dan tumbuhan punah dari permukaan bumi (Delforge, 2005). Dan apabila praktik tersebut terus berjalan, tambah Deflorge (2005), diperkirakan pada pertengahan abad 21 dunia akan kehilangan seperempat dari keragaman hayati.
Bukan hanya merusak ekologi, ungkap Shiva (1994), pembangunan pertanian dengan membuang semua aspek keragaman hayati semakin memupuk kemiskinan. Celakanya, kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup memiliki hubungan kausalitas yang bersifat langsung. Kemiskinan akan menuntun masyarakat mengeksploitasi basis sumber daya mereka, dan penurunan basis sumber daya akan menuntun masyarakat menjadi semakin miskin, selanjutnya akan bergerak laksana spiral yang melingkar terus ke bawah (Durning dalam Badola, 2000).
Dikarenakan, ekonomi Indonesia sangat bergantung pada sumber daya alam dan tingkat pendapatan masyarakat umumnya masih rendah, maka tingkat kesejahteraan (dan usaha penanggulangan kemisikinan) Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan hidup (Makarim, 2005).
Hasil penelusuran penulis, cukup banyak nilai lebih pertanian bercirikan polikultur. Selain menyediakan stabilitas ekologi, pertanian bercirikan keragaman juga menjamin keragaman mata pencaharian (Shiva, 1994). Keanerakaragaman jenis akan memberikan banyak keuntungan biologis, terutama dilihat dari stabilitas ekologis dan ekonomis (Daniel dkk dalam Awang dkk, 2001).
Dari aspek ekologi, pertanian bercirikan keragaman, mampu menciptakan sistem perlindungan (Shiva, 1994). Bahkan ada kecenderungan, semakin tinggi keanekaragaman jenis suatu ekosistem, akan semakin mantap pula ekosistem tersebut dan akan semakin tahan pula terhadap pengaruh-pengaruh dari luar (Fandeli dalam Awang dkk, 2001).
Seperti mampu menekan adanya kecenderungan peningkatan populasi hama serangga secara berlebih-lebihan sampai batas minimum (Singh dan Misra dalam Atmadja, 1997) dan menahan erosi (Tata, 2000). Dan akibat jumlah energi matahari yang ditangkap oleh berbagai kanopi (lapisan) tanaman pertanian naik, produktivitas tanah pertanian pun mengalami kenaikan (Singh dan Misra dalam Atmadja, 1997) atau ikut menyumbangkan kesuburan pada tanah (Tata, 2000).
Dari aspek ekonomi, sistem beragam akan memberikan petani lebih banyak pendapatan dibandingkan sistem monokultur pada saat panen bersamaan dengan lokasi berbeda-beda (Tata, 2000). Dikarenakan pula petani dapat memungut hasilnya pada masa panen yang berbeda-beda dari jenis yang berbeda-beda, maka sepanjang tahun petani bisa memperoleh bahan makanan dan pendapatan (Soeria Atmadja, 1997).
Selain itu, ciri pertanian yang menggunakan pendekatan “portofolio” ini mampu mengurangi risiko kegagalan (Barber dkk, 1997), dan mengandung aspek efisiensi lahan dan diversifikasi penggunaan lahan yang optimal (Awang dkk, 2001). Oleh karena itu, kemungkinan petani mengalami risiko kegagalan total akibat terjadinya perubahan cuaca dan iklim, serangan hama dan penyakit, inefisiensi pasar, memburuknya kesuburan tanah dan memburuknya kesehatan petani dapat ditekan semininal mungkin.
Penulis berkeyakinan, masih banyak lagi nilai lebih yang dimiliki pertanian bercirikan polikultur. Oleh karena itu, penulis berpendapat sudah sepantasnya upaya menggencarkan promosinya penting dilakukan untuk mengatasi masalah kerusakan ekologi dan kemiskinan.
Penulis:
Dedek Hendry, adalah jurnalis dan pekerja sosial yang berminat mendalami isu lingkungan hidup, komunikasi partisipatif dan gender. Ia juga peraih Jurnalis Penggerak Perubahan tahun 2017 yang diinisiasi oleh BukaLapak Indonesia.
* Seluruh tulisan ini adalah pendapat pribadi dan menjadi tanggung jawab penulis.
* Artikel ini pernah ditayangkan di Harian Rakyat Bengkulu, Januari 2006 dan diunggah ulang di laman https://aktaku.wordpress.com