Namanya Aswin, umurnya belum genap 50 tahun. Kami berkenalan delapan tahun silam di halaman tanah rumahnya yang hanya selebar dua langkah kaki dan penuh bonggol serta serpihan serabut kelapa.
Saat itu, tak ada bangku yang bisa diduduki, yang ada hanya sisa potongan batang kelapa yang tersusun di pinggir rumahnya. Di situ jugalah Aswin menaruh kopi atau teh kalau ada tamu berkunjung.
Pekan lalu, kami bersua lagi di tempat yang sama. Tak ada yang berbeda. Bonggol kelapa masih berserakan. Bahkan sampai ke halaman milik tetangga yang berkelang saluran pembuangan air kotor, juga bergelimpangan beberapa batang kelapa sepanjang 2-3 meter dengan berat ratusan kilo.
“Masih cak ikolah (seperti inilah),” ujar Aswin dengan logat khas orang pesisir pantai Bengkulu.
Di tangannya masih tergenggam sebuah pahat besi sepanjang satu meter. Sementara matanya fokus menelisik bagian bonggol yang telah diiris gergaji mesin. Lalu dengan nafas tercekat, Aswin pun menghujamkan mata pahat mengkilat itu ke dalam bonggol. Batang kelapa tua itu pun terkoyak tak kuasa melawan tenaga Aswin.
Serpihannya menumpuk di dalam bonggol berwarna cokelat kemerahan. Sebuah penanda bahwa kelapa yang dipapas Aswin dengan pahat adalah kelapa tua, umurnya mungkin lebih dari 10 tahun.
“Nanti kalau sudah rapi lubangnya. Namanya bukan bonggol lagi, tapi klewang,” ujarnya menunjuk enam buah bonggol berlubang yang bergulingan di sampingnya.
Klewang persis ember besar. Beratnya sekitar 30 kilogram. Dari dalam lubang masih terlihat jelas bekas sisa cabikan pahat, namun lebih halus bak sudah diampelas.
“Ini uniknya dol Bengkulu. Dia mirip gendang atau beduk, tapi tidak bolong di dasarnya,” ujar Aswin seperti meracau. Nafasnya berlomba dengan bulir keringat yang bersimbah di badannya. Di lengannya, anyaman urat berwarna kebiruan seperti berdesakan ingin keluar mencari jalan nafas.
Tak lama, ia lalu menepikan pahat bermata tajam nan berat itu ke dinding rumahnya. Tiga gelas air putih ditenggaknya tanpa jeda. Lalu tangannya merogoh rokok kretek yang sudah bengkok karena terlipat-lipat di kantung celananya kemudian menyulutnya.
“Apa kabar. Kemana saja menghilang?” ujarnya menyalamiku dengan senyum mengembang sampai gusi patahnya kelihatan. Kami pun berjabatan tangan persis delapan tahun lalu.
Menebas Sakral
Lebih dari 30 tahun lalu, kalau saja Gubernur Bengkulu Razie Yahya kala itu tak kepikiran membuat acara Tabot berskala besar untuk mengenalkan Bengkulu. Bisa jadi nasib Aswin kini berakhir di sampan Jukung mengaisi hasil laut yang sudah digulung pukat harimau.
Sebab, nun jauh sebelum itu. Dol yang kini menghidupi Aswin dan keluarga, awalnya adalah sebuah benda sakral, yang tak sembarangan orang bisa membuat dan memainkannya. Bahkan hanya untuk mendengar suaranya saja, harus menunggu setahun sekali, yakni pada bulan Muharram.
Itu juga hanya boleh dimainkan dalam ritual tabot yang hanya digelar 10 hari untuk memperingati gugurnya Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW dalam perang Karbala di Iran pada 10 Muharram 61 Hijriah atau sekitar 681 Masehi.
Maklum, kala itu para keturunan Tabot sangat mempercayai jika ada yang menabuh dol di luar waktunya. Maka akan menjadi balak dan derita bagi siapa pun.
Namun seiring waktu, tradisi kaku itu kemudian meregang sakralitasnya. Gema dol rupanya mulai mencuri perhatian, tetabuhannya yang bernada duka, suka serta semangat itu akhirnya terasa sayang jika hanya direngkuh para keturunan keluarga tabot.
Karena itulah, tepat pada tahun 1987, pemerintah Bengkulu mencoba menarik dol ke hadapan publik dengan menggelar festival dol dengan melibatkan para keturunan tabot. Gayung bersambut, dol pun membahana di luar waktunya karena banyak yang latihan agar bisa sempurna ketika di pentas.
Sejak itu, akhirnya tembok sakral itu pun perlahan runtuh. Dol pun menjadi milik siapa pun. Termasuklah Aswin, bapak tiga anak yang mengisi periuk dapurnya dengan berburu bonggol kelapa lalu menyulapnya menjadi dol, si benda sakral penuh misteri yang sudah berabad-abad tak bisa disentuh siapa pun.
“Saya bukan keturunan Tabot. Tapi saya bersyukur serasa bisa menjadi bagiannya meski cuma membuat dol,” ujar Aswin.
Di Ujung Ajal
Hikayat tabot di Bengkulu memang telah melegenda sejak 683 tahun lalu ketika pelaut ulung asal Punjab Pakistan, Imam Maulana Ichsad, mengenalkan ritual ini pertama kalinya di tanah ini.
Meski kisahnya tenggelam dilarung zaman, tak terkenang dan hilang. Namun ia menjadi penanda bahwa Bengkulu menjadi titik mula munculnya ritual serupa di Padang, Sumatera Barat bahkan hingga Aceh.
Penyebarluasan ritual itu tercatat dilakukan oleh keturunan Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin. Pimpinan pekerja asal India yang menjejakkan kakinya di Bengkulu bersama Inggris ketika membangun Fort Marlborough, benteng sekaligus pangkalan dagang terbesar di Asia Tenggara pada 1685.
Terlepas itu, dol yang telah menjadi bagian ritual tabot kini sudah tidak lagi terkurung dalam konsep sakralitasnya secara utuh. Siapa pun orang kini bisa menabuhnya, mendengarnya dan bahkan membuatnya atau pun menjadikannya barang dagangan.
Hanya saja, sayangnya sejak usai tercerabut dari bui sakralnya itu. Nasib dol kini justru terancam sekarat. Jumlah perajinnya kini begitu memprihatinkan. Bayangkan saja, selain Aswin, paling cuma lima orang lagi saja yang masih bertahan membuat dol.
“Itu pun kebanyakan cuma finishing,” ujar Aswin. Finishing dimaksud, berupa pengerjaan di bagian akhir dalam proses pembuatan dol. Seperti merapikan sisa pahat, mengecat, memasang kulit hewan, atau pun menambah ornamen pelengkap seperti tali pegangan di luar bonggol.
Dan yang mengejutkannya lagi, kini para perajin itu juga sudah mulai kesusahan mencari bahan baku dol berupa pohon kelapa tua yang layak dipapas. “Saya sampai mencari ke Kabupaten Kaur yang jaraknya 5 jam pejalanan mobil. Dan itu harus ditebus Rp300 ribu per bonggol,” ujar Emrizal, perajin dol yang lain.
Kota Bengkulu memang tak memiliki kebun kelapa yang cukup. Desakan permukiman mencabut banyak bonggol dan menggantikannya dengan beton. Karena itu, mau tak mau bonggol kelapa mesti dipungut dari daerah lain.
“Itu pun juga terbatas. Sebab, banyak kebun kelapa kini telah berganti dengan sawit,” ujar Emrizal. Pria yang juga dosen di salah satu universitas swasta di Bengkulu ini adalah keturunan kedua keluarga pelestari dol di Bengkulu.
Beberapa karya buatan dol Emrizal, juga telah banyak yang melancong ke luar negeri. Biasanya untuk pajangan atau pun untuk acara seremonial pemerintah. Seperti fungsi gong di tanah Jawa ketika membuka atau memulai sebuah acara.
Karena itu, Emrizal memperkirakan nasib dol dan para perajinnya di Bengkulu bukan tidak mungkin akan hilang jika tidak segera ditentukan tindakan. Bengkulu atau setidaknya ibu kotanya yang bersentuhan langsung dengan dol, membutuhkan lahan khusus yang bisa menyediakan pasokan kelapa yang mencukupi.
Termasuk juga perlu upaya serius pemerintah agar membantu menurunkan pengetahuan mengenai proses pembuatan dol kepada generasi berikutnya. “Kalau seperti ini terus, mungkin dol Bengkulu hanya bertahan 20 tahun lagi,” ujarnya. (sumber: kumparan.com)