Perempuan adalah korban paling buruk akibat kerusakan lingkungan hidup. Ancaman kematian terhadap mereka akibat kerusakan lingkungan tercatat 14 kali lebih besar dibanding laki-laki. Atas itu pelibatan perempuan untuk menjaga dan melindungi kawasan hutan menjadi pilihan penting.
LivE Knowledge – Melansir poin utama dokumen Policy Brief “Memberdayakan Perempuan Desa di Sekitar Situs Warisan Dunia: Keniscayaan Pemerintah Provinsi Bengkulu” yang disampaikan Lembaga Kajian, Advokasi dan Edukasi (LivE) kepada Pemerintah Provinsi Bengkulu, Senin, 13 Maret /2017.
Bahwa pemberdayaan perempuan untuk menjaga warisan dunia adalah sebuah keniscayaan bagi Pemerintah Provinsi Bengkulu. Sebab, perempuan memiliki hak atas lingkungan hidup (hutan) sebagai sumber kehidupan, penghidupan dan pengetahuan perempuan.
“Hak perempuan atas lingkungan hidup itu meliputi hak atas lingkungan yang sehat dan baik, hak mendapatkan pendidikan, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan hak mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan”.
Di Bengkulu, hampir 50 persen kawasan hutannya adalah bagian dari situs warisan dunia. Secara rinci, dengan luasan hutan 924.631 hektare, sebanyak 412.324,6 hektare adalah bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Kedua taman nasional itu merupakan bagian dari tiga taman nasional yang ditetapkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) dan masuk daftar Warisan Dunia (World Heritage) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 7 Juli 2004.
Menurut SK Menhut Nomor 784/Menhut-II/2012, kawasan TNBBS dan TNKS di Bengkulu membentang di lima kabupaten. Untuk TNBBS, ada di Kabupaten Kaur dengan luasan 66.483 hektare, dan sedangkan kawasan TNKS di Kabupaten Rejang Lebong 25.815,6 hektare. Lalu, Lebong 98.287 hektare, Bengkulu Utara 71.702 hektare, dan Kabupaten Mukomuko dengan luasan terbesar 150.036 hektare.
Ancaman Keutuhan
Kawasan Situs Warisan Dunia tidaklah bebas dari gangguan yang mengancam keutuhannya. Sebagian ancaman utamanya adalah perambahan, pembalakan liar dan pembangunan infrastruktur.
Merujuk hasil penelitian Purwanto (2014), akumulasi perambahan TNBBS hingga tahun 2014 adalah 74.988 hektare dengan laju perambahan 1990–2014 sebesar 1.240,2 hektare per tahun, dan akumulasi perambahan TNKS hingga tahun 2014 adalah 130.322,2 hektare dengan laju perambahan 1990–2014 sebesar 2.737,6 hektare per tahun. Atau dengan kata lain, bila perambahan ini dikonversi maka laju perambahan TNBBS adalah 3,4 hektare per hari dan TNKS adalah 7,5 hektare per hari.
Ancaman keutuhan Situs Warisan Dunia tersebut wajib untuk disikapi oleh pemerintah provinsi, terkhusus terkait perempuan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan perempuan adalah korban paling buruk akibat kerusakan lingkungan hidup (Eaton and Lorentzen, 2003). Penelitian Peterson (Aguilar, 2009) menyimpulkan potensi perempuan mengalami kematian adalah 14 kali lebih besar dibandingkan laki-laki bila terjadi bencana.
“Kerusakan lingkungan hidup juga memperberat beban perempuan yang sering pula bertanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan dasar kehidupan rumah tangga seperti pangan, air, energi dan obat-obatan dari mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan hidup bisa mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan perempuan dan keluarga.”
Lalu bagaimana dengan Bengkulu yang kawasan hutan warisan dunianya mencapai 50 persen? Secara umum, kondisi perekonomian untuk lima kabupaten yang terdapat kawasan hutan warisan dunia, Kaur, Rejang Lebong, Lebong, Bengkulu Utara dan Mukomuko relatif sama.
Struktur perekonomian daerahnya ditopang secara utama oleh sektor pertanian dan masih menghadapi masalah kemiskinan. Mayoritas penduduk berjenis kelamin perempuan di lima kabupaten tersebut tidak masuk kategori angkatan kerja, dan sektor pertanian merupakan lapangan usaha dominan bagi perempuan yang bekerja.
Sementara di lain pihak, Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013 menyebutkan Kabupaten Kaur, Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan Mukomuko merupakan kabupaten berkategori risiko tinggi, sedangkan Lebong berkategori risiko sedang. Sebagian risiko bencana ekologi yang membayangi lima kabupaten tersebut adalah banjir, longsor, kebakaran lahan dan hutan, cuaca ekstrem dan kekeringan.
Kondisi ini jelas harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Dengan kewajiban yang sudah tertuang dalam amanat UUD 1945 Pasal 28H Ayat (1), UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 Ayat (3), UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65 Ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Lalu UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 3 menyatakan penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, Pasal 68 Ayat (1) menyatakan Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, dan Pasal 68 Ayat (2) menyatakan masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 70 Ayat (2) menyatakan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dan, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan merupakan kewenangan pemerintah provinsi.
Dan terakhir, PP No. 108 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas PP No. 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 49 Ayat (1) menyatakan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus memberdayakan masyarakat di sekitar KSA dan KPA dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya, dan Pasal 49 Ayat (2) menyatakan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA dan KPA.
Oleh karena itu, adalah sebuah keniscayaan untuk melibatkan atau melakukan pemberdayaan perempuan untuk menjaga/menyelamatkan situs warisan dunia.