“Ini yang saya cari,” ujar Bupati Kepahiang H. Zurdi Nata, S.IP dalam diskusi bersama perwakilan Koalisi Perempuan Petani Kopi Desa Kopi Tangguh Iklim (Koppi Sakti) Bengkulu di ruang kerjanya pada Kamis (16/10/25) siang.
Saat berdiskusi, Zurdi Nata didampingi Kepala Dinas Pertanian Kepahiang Ir. Taufik, dan Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kepahiang, Karyo Fauzan, SP. “Inovasi (Kebun Kopi Tangguh Iklim) ini bisa menjadi contoh bagi (perempuan) petani kopi lainnya,” tambah Nata.
Adapun perwakilan Koppi Sakti Bengkulu yang ikut berdiskusi adalah Supartina Paksi, Siti Hermi, Desmi Yati, Susmi Ida Royani, Indrayati, Mardalena dan Desmi Julita Hayani. “Saya sangat mengapresiasi inovasi ini,” ujar Nata.

Diskusi itu dilakukan setelah Nata menerima Surat Permohonan Fasilitasi Membangun Kebun Kopi Tangguh Iklim yang ditandatangani perempuan petani kopi di 10 desa, dan dokumen Rekomendasi Kebijakan dari Koppi Sakti Bengkulu yang berjudul Berdayakan Perempuan Petani Kopi untuk Membangun Kebun Kopi Tangguh Iklim.
Sepuluh desa tersebut adalah Desa Pulo Geto, Desa Pulo Geto Baru, Desa Durian Depun, Desa Simpang Kota Bingin dan Desa Bukit Barisan, Desa Suro Muncar, Desa Suro Baru, Desa Pekalongan, Desa Tanjung Alam, dan Desa Air Hitam.
Semerbak Harum Bunga Kopi
Dalam diskusi, Koppi Sakti Bengkulu menyampaikan beragam dampak negatif perubahan iklim. Salah satunya mengakibatkan harum bunga kopi kurang semerbak di kebun kopi. Hal itu dipicu oleh bunga kopi yang keluar sedikit, serta banyak bunga gugur dan rusak.
Namun, berkat Kebun Kopi Tangguh Iklim, masalah kurang semerbaknya harum bunga kopi di kebun kopi mulai teratasi. “Secara umum, hasil panen petani kopi di Kepahiang sulit mencapai 700 kg. Tahun lalu hasil panen di kebun kopi saya sekitar 700 kg, sedangkan tahun ini mencapai 1.700 kg,” ungkap Siti.

Pengurangan Pengeluaran
Selain meningkatkan produktivitas kopi, Kebun Kopi Tangguh Iklim juga menghasilkan sayur, rempah dan buah-buahan lainnya. “Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, mengurangi pengeluaran rumah tangga, hasil panen sayur, rempah dan buah-buahan juga menjadi tambahan pendapatan,” sambung Supartina.
Pengurangan pengeluaran juga diperoleh dari pembuatan pupuk organik di lubang angin (mini rorak) dengan memanfaatkan rerumputan, dedaunan dan reranting pohon kopi dan pohon lainnya, serta sekam kopi. “Kami tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli pupuk (kimia),” kata Supartina.

Pemberdayaan
Mungkin selama ini, sambung Siti, pemerintah daerah belum melihat peran penting perempuan dalam pengelolaan kebun kopi, sehingga perhatian untuk memberdayakan perempuan petani kopi masih minim. “Langkah kami membangun Kebun Kopi Tangguh Iklim bisa menjadi bukti bahwa pemberdayaan perempuan petani kopi dalam pengelolaan kebun kopi penting dilakukan,” kata Siti.
Respon Isu Global
Inisiatif membangun Kebun Kopi Tangguh Iklim, ungkap Taufik, relevan untuk merespon isu global, terutama perubahan iklim, yang berdampak pada penurunan produktivitas kopi. “Ini (Kebun Kopi Tangguh Iklim) mendukung program unggulan daerah, khususnya program peningkatan produktivitas kopi. Ini bisa menjadi model,” kata Taufik.
Isu global lainnya, tambah Karyo, adalah produk pertanian dan perkebunan organik, termasuk kopi. “Arah jangka panjang program peningkatkan produktivitas kopi adalah organik. Ini adalah isu dunia, isu keberlanjutan, (pertanian dan perkebunan) organik. Jadi, inisiatif ibu-ibu ini sejalan dengan program daerah, bisa menjadi contoh bagi (perempuan) petani kopi lainnya,” ujar Karyo.
Kebijakan dan Program
Terkait permohonan perempuan petani kopi di 10 desa yang meminta agar difasilitasi untuk membangun Kebun Kopi Tangguh Iklim dan rekomendasi kebijakan, Nata mengatakan, akan meminta Dinas Pertanian untuk melakukan kajian dan telaah, terutama dari aspek regulasi (peraturan). “Intinya, saya amat sangat mendukung inovasi (Kebun Kopi Tangguh Iklim) ini,” kata Nata.

 
			 
			 
			 
			 
			