Purwani, Herawati, Liswanti dan Lisnawati, empat dari 20 anggota Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu perlahan menjelajah zona pemanfaatan tradisional Taman Nasional Kerinci Seblat di Desa Pal VIII pada Minggu siang (1/12/19). Mereka mengecek satu persatu rumpun pepohonan Kecombrang yang tumbuh di kawasan hutan yang berstatus ASEAN Heritage Parks dan bagian dari World Heritage Sites (Situs Warisan Dunia) itu untuk menemukan bunga yang layak untuk dipanen.

“Hasil panen pada hari ini akan dimanfaatkan untuk membuat lauk di acara sedekahan di rumah ketua kelompok,” kata Lisnawati sembari memotong tangkai bunga Kecombrang. Sayur dan sambal Kecombrang merupakan kuliner lokal di Desa Pal VIII yang biasa dihidangkan untuk rumah tangga dan acara sosial budaya dan keagamaan. “Bukan hanya enak, mengonsumsinya bagus untuk kesehatan. Khusus bagi perempuan, apabila rajin mengonsumsinya bisa membantu untuk mencegah kanker payudara dan serviks,” tambah Lisnawati.
Hingga akhir November 2019, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan 6.112 kelompok masyarakat yang mendapatkan hak kelola kawasan hutan dengan luas 3,436 juta hektare. KPPL Maju Bersama merupakan kelompok perempuan yang pertama memperoleh hak kelola kawasan hutan. Hak tersebut diperoleh setelah Ketua KPPL Maju Bersama Rita Wati dan Kepala Balai Besar TNKS Tamen Sitorus menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi pada 5 Maret 2019.

TNKS dengan luas 1.389.510 hektare membentang di Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Selatan. Di Provinsi Bengkulu, luas kawasan TNKS adalah 348.841 hektare yang membentang di wilayah Kabupaten Rejang Lebong (25.815 ha) Lebong (98.287 ha), Bengkulu Utara (71.702 ha) dan Kabupaten Mukomuko (150.036 ha). Khusus di Rejang Lebong, luas kawasan TNKS mencapai 51,19 persen dari luas kawasan hutan di Rejang Lebong (50.428 ha) dan berada di 26 desa di lima kecamatan.
Dengan menjadi mitra konservasi, KPPL Maju Bersama berhak untuk memanen dan membudidayakan pakis dan kecombrang serta menjaga kelestarian TNKS (Situs Warisan Dunia) guna membangun ketahanan pangan. Secara langsung menjadi lauk untuk rumah tangga atau sedekahan, sedangkan tidak langsung dengan menjual produk olahan seperti sirup, dodol dan wajik kecombrang dan stik pakis. “Uang hasil usaha kelompok akan dibagikan ke anggota agar digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan atau kebutuhan rumah tangga lainnya,” terang Purwani.
Kelestarian hutan TNKS (Situs Warisan Dunia) juga penting untuk ketahanan pangan masyarakat desa, khususnya petani. Tanaman di kebun milik masyarakat memerlukan air, iklim, kesuburan tanah dan hewan penyerbuk. Kalau hutan TNKS rusak, maka akan berdampak buruk terhadap kesuburan dan produktivitas tanaman di kebun yang selanjutnya akan berdampak buruk terhadap kondisi ketahanan pangan petani. “Hutan TNKS merupakan penyedia air, penjaga iklim, kesuburan tanah dan habitat bagi penyerbuk,” kata Purwani.
Minim Forum Berbagi Cerita Sukses
Sayangnya, cerita sukses kelompok perempuan mendapatkan hak kelola kawasan hutan belum tersebar luas akibat minimnya forum untuk membagikan cerita sukses tersebut. Sehingga, The Asia Foundation menggelar Talk Show “Peran Perempuan Dalam Perhutanan Sosial Menuju Ketahanan Pangan” yang mengundang perwakilan KPPL Maju Bersama sebagai salah satu narasumber. “Setelah di Bengkulu, hak kelola kawasan hutan juga berhasil diperoleh oleh kelompok perempuan di Aceh,” terang Project Officer Setapak II The Asia Foundation Margaretha Tri Wahyuningsih di Jakarta, Rabu (27/11/19).

Menurut Margaretha, masih terbatasnya kelompok perempuan mendapatkan hak kelola kawasan hutan dipengaruhi tiga hal. Yakni, minimnya pengetahuan perempuan desa sekitar kawasan hutan tentang hak-hak perempuan atas hutan, minimnya pendamping dari organisasi masyarakat sipil yang membantu perempuan desa untuk mendapatkan hak kelola kawasan hutan, dan kebijakan masih kurang kuat mendukung kelompok perempuan. “Sayangnya lagi, pemerintah daerah juga belum menyadari arti penting hak kelola kawasan hutan bagi perempuan, khususnya dalam upaya menjaga ketahanan pangan,” kata Margaretha.
