Guru SMP di Bengkulu ini sejatinya bukanlah seorang peneliti. Namun berkat kemauannya belajar, dan berbagi. Ia kini dikenal sebagai inovator untuk pembuat mikro organisme lokal untuk pupuk kompos. Dan berkat itu juga, ia pernah dikirim ke Nepal untuk berbagi. Siapa sosok guru ini? Simak laporan berikut.
LivE Knowledge – Yulia Suparti bukanlah seorang akademisi atau peneliti jebolan universitas terkemuka di luar negeri. Yulia adalah seorang guru mata pelajaran IPA (Fisika) di SMP Negeri 11 Kota Bengkulu. Namun, berkat ketekunan belajar sambil melakukan, Yulia pun mampu membuat pupuk dan pupuk cair, zat perangsang tumbuh dan buah, dan pestisida organik dari sampah, limbah domestik dan industri rumah tangga.
Yulia mulai bergelut dengan sampah sejak tahun 2000. Hal itu beraawal dari keprihatinannya dengan kondisi lingkungan sekolah. Banyak sampah dedaunan dan ranting pohon berserakan, menumpuk dan menyumbat selokan. Karena itu munculah gagasan untuk mengolahnya menjadi kompos.
“Sampah sebaiknya tidak dibakar. Kalau dibakar, bisa merusak lapisan ozon,” kata Yulia, Selasa, 21 Maret 2017. Gagasan itu disampaikannya kepada kepala sekolah dan rekan sekerjanya. Walau tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman membuat kompos, namun Yulia mendapatkan dukungan.
Ia pun mulai mempelajari pembuatan kompos dengan membaca berbagai literatur dan bertanya dengan mahasiswa pertanian. Selain di sekolah, Yulia juga memanfaatkan perkarangan rumahnya sebagai tempat mempraktikannya. Saat mempelajarinya, beragam kendala ditemui.
Namun, tak membuatnya menyerah. Kian giat belajar, kian banyak pengetahuan yang diperoleh. Tak cuma membuat kompos, tetapi juga membuat mikro organisme lokal (MOL) untuk mempercepat pengomposan dan pembuatan pupuk cair organik. Bahkan, Yulia mampu membuat beragam MOL, pupuk padat dan cair dari sampah, limbah domestik dan industri rumah tangga.
Kabar tentang kemampuan Yulia membuat pupuk padat dan cair organik ternyata menyebar. Dia mulai diundang menjadi narasumber dan pelatih, bahkan tidak sedikit orang datang ke rumahnya untuk belajar. Keadaan ini membuatnya kian giat belajar.
Yulia pun mulai belajar dan berhasil membuat zat perangsang tumbuh, zat perangsang buah dan pestisida organik. Sering diundang tanpa dibayar ataupun didatangi oleh orang untuk belajar tanpa membayar, tak dipersoalkannya.
“Kalau saya mau cari uang, bisa saya monopoli saja pengetahuan yang saya miliki dan gunakan untuk memproduksi dan menjual beragam produk organik itu. Tapi, bagi saya, rezeki bukan hanya uang. Punya banyak kenalan dan jaringan juga rezeki,” kata perempuan kelahiran tahun 1972 di Wonogiri, Jawa Tengah ini.
Menebus dosa ekologis lah yang menjadi motivasi Yulia untuk terus belajar dan membagikan pengalaman dan pengetahuannya. “Kita, manusia, sudah sangat banyak berbuat dosa ekologis, dosa terhadap bumi. Mau serba instan, ekspolitatif atau serakah dan enggan merawat bumi adalah beberapa contohnya. Kita harus membuang atau menebusnya bila kita ingin bumi tetap menjadi tempat kita hidup,” ujar Yulia.
Oleh karena itu, Yulia selalu mengajurkan orang yang telah belajar dengannya agar mengajak dan membagikan pengetahuan yang diperoleh kepada orang lain.
“Semakin banyak orang yang melakukan hal serupa, semakin bagus. Tidak lah mungkin menebus dosa itu dilakukan oleh segelintir orang,” kata perempuan yang pernah diundang menjadi pemateri dalam konferensi dan pelatihan di Nepal pada 21–25 April 2015.
Langkah Yulia membagikan pengetahuan dan pengalamannya juga direspon sekolah lain dan pemerintah daerah. Pembelajaran tentang pemanfaatan sampah telah menjadi ekstrakurikuler di sejumlah sekolah dan menjadi materi dalam pembelajaran bioteknologi pada mata pelajaran IPA.
“Gerakan mengonsumsi sayur dan buah organik juga penting dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” ujarnya.
* Sosok Yulia Suparti, pernah juga diulas di laman Mongabay.co.id
* Punya informasi serupa sosok inspiratif? silakan berbagi di laman Live Indonesia ID, kirimkan ke redaksi di alamat surel: liveknowledge@hotmail.com