Indonesia memiliki sejarah kelam dengan harimau (Tilson and Nyhus, 2010). Dua dari tiga subspesies harimau Sunda Island di Indonesia telah dinyatakan punah. Harimau Bali dinyatakan punah pada 1930-an, dan harimau Jawa pada 1980-an (Seidensticker, 1987). Subspesies yang tersisa adalah harimau Sumatera. Hanya saja, keberadaan harimau sumatera terancam punah. Perburuan dan perdagangan illegal, konflik dengan manusia, dan kehilangan habitat merupakan ancaman utama.
Hampir 50% habitat harimau sumatera berada di Provinsi Aceh, Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu (Borner dalam Santiapillai and Widodo, 1987). Perburuan harimau sumatera di Bengkulu, diperkirakan mulai marak pada 1980-an. Menurut Matthiessen (dalam Ellis, 2005), menipisnya simpanan China atas tulang harimau, menjelaskan kenaikan perdagangan pada akhir 1980-an, dimana perburuan meningkat di India, Bhutan, Indochina, Indonesia dan Timur Jauh Rusia.
Indonesia, terang Ellis, menjadi eksportir utama untuk tulang harimau dan produk tulang harimau dengan tujuan utama adalah Korea Selatan, Singapura dan Taiwan. Sampai 1990-an, bagian paling berharga dari harimau Sumatera adalah kulit. Ketika permintaan tulang untuk obat mulai meningkat, kulit, kendati masih berharga, tidak lagi menjadi alasan utama untuk perburuan. “Pencarian tulang harimau untuk diekspor ke China daratan dan Taiwan adalah alasan utama banyak harimau dibunuh,” tambah Boomgaard (2001).
Untuk periode 1990 – 2000, Tilson et al (2010) memperlihatkan, Bengkulu adalah provinsi dengan jumlah harimau dibunuh yang terbanyak dibandingkan lima provinsi lainnya di Sumatera. Sebanyak 215 individu dibunuh di Bengkulu dari total jumlah enam provinsi (619). Dilihat asalnya, jumlah harimau sumatera dari taman nasional yang dibunuh lebih banyak (369 individu). TNKS dengan jumlah terbanyak. Yakni, 122 individu dari total harimau sumatera dari taman nasional (369).
Perburuan harimau di Bengkulu, tambah Tilson, melibatkan 63 orang. Meliputi 24 profesional, 33 amatir dan 6 orang lainnya yang dimungkinkan masuk kategori amatir. Sementara hasil investigasi Pelestarian Harimau Sumatera – Taman Nasional Kerinci Seblat (PHS – TNKS) Wilayah Bengkulu mengidentifikasi kelompok perburuan harimau di Mukomuko, Bengkulu Utara, Lebong dan Rejang Lebong berkisar 10 – 15. Setiap kelompok berjumlah 2 – 5 orang. Kelompok dibiayai pemodal atau sendiri.
“Beberapa pernah sekelompok, kemudian pindah ke kelompok lain atau membentuk kelompok baru bersama anggota kelompok lain atau merekrut anggota baru,” kata Koordinator PHS – TNKS Wilayah Bengkulu Nurhamidi. Dalam melakukan aksi, pelaku mensurvei terlebih dahulu. Bila dianggap tepat, pelaku memasang tanda atau membuat lobang di areal survei. Kedatangan berikutnya untuk memasang jerat. Bila tidak di pematang yang sempit, jerat dipasang dengan membuat jalur khusus. Jerat dipasang menggunakan umpan dan tidak.
Selain harga jual, intensitas perburuan dipengaruhi musim dan kondisi perekonomian seperti musim kemarau panjang dan harga komoditi pertanian anjlok. Masa puasa dan lebaran juga cenderung memacu intensitas. “Kini, pelaku sudah mulai membeli informasi dari penduduk, seperti informasi mengenai jejak. Berita tentang konflik harimau dan manusia di media massa juga sudah menjadi sumber informasi bagi mereka,” ujar Nurhamidi.
Bukan Tradisi
Berburu harimau bukanlah tradisi kerajaan di Pulau Sumatera. “Cenderung tidak ada bukti tentang daerah perburuan ekslusif untuk keluarga kerajaan di Sumatera. Ini mungkin agak mengecewakan bahwa kita tidak mendengar banyak tentang keluarga kerajaan yang berburu harimau di Sumatera,” ungkap Boomgaard. Bukan hanya kerajaaan. Marsden (dalam Boomgaard) juga mengemukakan, penduduk sumatera tidak suka berburu harimau.
Bangsa Eropa yang mengenalkan perburuan harimau kepada penduduk Sumatera. Di Provinsi Bengkulu, Inggris yang mengenalkan. Namun, belum diketahui kapan Inggris yang mendarat pertama kali di wilayah Bengkulu pada 1685 itu, mulai mengenalkannya. “Kepala-kepala (harimau) sering dibawa untuk menerima hadiah yang diberikan oleh British East India Company karena membunuh mereka (harimau),” tulis Marsden (dalam Boomgaard).
Kendati demikian, pemberian hadiah tersebut tidak terlalu mendapat respon. “Hadiah uang untuk membunuh harimau di sini, dilakukan oleh Pemerintah seperti di beberapa bagian India, tetapi ini sangat jarang diklaim; Orang-orang Bengkulu terlalu percaya takhayul dan lamban untuk usaha/bisnis,” ungkap Heyne (dalam Boomgaard) yang berkunjung ke Bengkulu pada 1812.
Sophia Raffles (dalam Boomgaard) juga menuliskan tindakan penduduk lokal bila harimau masuk ke pemukiman. “Ketika seekor harimau masuk ke sebuah desa, penduduk sangat sering menyiapkan beras dan buah-buahan, dan meletakkannya di jalan masuk sebagai persembahan untuk harimau, dipahami bahwa, dengan memberikan dia sambutan yang ramah, dia akan merasa senang dengan perhatian mereka, dan pergi tanpa menyerang.”
Heyne (dalam Boomgaard, 2001) juga mengungkapkan, “Bagian dari persembahan mereka, melihat hewan ganas (harimau) dengan perasaan hormat, bahkan mungkin dengan perasaan bangga, menghidupkan roh leluhur dan kerabat mereka”. Lalu, Martens (dalam Boomgaard) menuliskan, masyarakat adat percaya bahwa roh leluhur mereka merasuk ke harimau. Bila seorang anak dibunuh oleh harimau, mereka mengatakan anak tersebut dipanggil oleh kakeknya. Mereka tidak keberatan dan tidak ingin membalas.
Raffles (dalam Boomgaard) menuliskan, “Saat melewati hutan, datang seekor harimau, siap menyerang di jalan kecil, mereka tiba-tiba berhenti dan menyampaikan permohonan, menyakinkan bahwa mereka orang miskin yang membawa barang Tuan Besar (Raffles), yang akan marah bila mereka tidak tiba tepat waktu, oleh karena itu, mereka memohon agar diberi jalan dan tidak diganggu. Harimau, yang terkejut oleh kehadiran mereka, berdiri dan berjalan dengan tenang ke dalam hutan.”
Pada 1825, wilayah Bengkulu diserahkan oleh Inggris kepada Belanda. Sejak 1640, tulis Boomgaard, Belanda telah memberlakukan pemberian hadiah, namun baru di Batavia. Pemberlakuan mulai meluas ke Sumatera pada 1838. Gubernur Pesisir Barat Sumatera yang pertama kali disetujui untuk memberlakukannya. Baru pada 1846 meluas ke Bengkulu, Lampung dan Palembang.
Pemberian hadiah oleh Belanda juga tidak terlalu direspon oleh penduduk Bengkulu. Boomgaard mengungkapkan, pada 1895, Residen Bengkulu menulis bahwa dia sangat familiar dengan sebuah kasus dimana seorang pemimpin tua menolak untuk mendapatkan hadiah untuk seekor harimau yang ditangkap, dengan alasan dia tidak ingin menjual leluhurnya.
Tidak terlalu mendapat respon, pemberian hadiah di Sumatera dihapus pada 1897. Residen di Sumatera menyatakan harimau tidak dibunuh karena hadiah. Oleh karena itu, tidak perlu meneruskan sistem hadiah. “Menurut mereka, tidak ada harimau dibunuh karena hadiah yang ditawarkan, janji hadiah juga tidak mendorong terbentuknya kelompok pemburu harimau profesional,” tulis Boomgaard.
Bukit Sarang Macan
Khusus Suku Rejang, kepercayaan tentang harimau leluhur juga diulas oleh Marsden dalam bukunya “The History of Sumatra” yang terbit pertama kali pada 1783. “Cerita populer yang umum diantara mereka, seperti manusia tertentu menjelma menjadi seekor harimau,” tulis Marsden (dalam Boomgard). Marsden menambahkan, ”Mereka mengatakan suatu tempat di negeri dimana harimau memiliki istana, dan menyelenggarakan sebuah bentuk reguler dari pemerintahan”.
Kepercayaan Suku Rejang itu masih “hidup”, setidaknya di Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong. Desa yang berjarak 3 Km dari pusat perekonomian ibukota Lebong itu, memiliki luas 662 Ha. Saat ini didiami oleh 128 kepala keluarga. Mayoritas penduduknya bersuku Sunda. Kedatangan orang Sunda di Lebong, wilayah asal mula suku Rejang ini, menurut Siddik (1980), pada tahun 1907, untuk bekerja di sektor pertanian. Di wilayah Ladang Palembang, kedatangan orang Sunda untuk bekerja di perkebunan teh.
Berbekal kepercayaan tersebut, warga desa ini menetapkan Bukit Sarang Macan menjadi hutan larangan atau hutan lindung desa. Bukit Sarang Macan dalam bahasa Rejang adalah Tebo Sa’ang Imau. Yakni, tempat harimau jelmaan atau reinkarnasi leluhur bertemu. Mereka bertemu bila situasi “panas” atau kurang baik. “Misalnya, ada warga melanggar adat atau berbuat amoral,” kata Abdul Muris, Koordinator Seksi Keamanan, Penataan dan Pemeliharaan Hutan Bukit Sarang Macan. Setelah bertemu, harimau akan menampakkan diri atau menyerang hewan peliharaan untuk memberi peringatan.
Tak hanya pada situasi kurang baik, harimau juga biasa menampakkan diri pada bulan Mulud atau Maulid Nabi. Oleh karena itu, cerita tentang warga bertemu harimau adalah lumrah. Namun, tidak diperoleh cerita tentang warga dicederai atau dibunuh oleh harimau. Warga tidak menilai harimau sebagai masalah atau musuh. “Bagi kami, harimau bukanlah mahluk yang merugikan atau mengancam keselamatan,” kata M. Yusuf, Ketua Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam Desa Ladang Palembang.
Selain tempat bertemu, kawasan hutan Bukit Sarang Macan juga dipercaya sebagai tempat harimau untuk mencari mangsa. Sehingga, merusaknya akan mendapatkan “balasan”. Warga yang tidak ikut merusak juga bisa terkena imbas. Oleh karena itu, hutan Bukit Sarang Macan termasuk bebas dari aktivitas perusakan. “Masuknya saja, banyak (warga) tidak berani. Apalagi untuk merusak,” ujar Endang Yunus, Sekretaris Desa.
Warga juga tidak berani untuk menangkap atau membunuh harimau. Melakukannya sama dengan membunuh leluhur. Membunuh akan dibalas dengan dibunuh. Balasannya bisa lebih berbahaya. Satu ekor harimau dibunuh akan dibalas oleh harimau lainnya dengan membunuh manusia dengan jumlah bisa lebih dari 1 orang. “Belum pernah ada warga yang membunuh. Memasang jerat pun belum pernah ada,” tambah Hamdan, Anggota Seksi Keamanan, Penataan dan Pemeliharaan Hutan Bukit Sarang Macan.
Modal dasar tersebut pun dilengkapi dengan kesadaran warga akan arti penting hutan untuk keberlanjutan ketersediaan air. Warga mengetahui Bukit Sarang Macan adalah hulu sungai Air Udik dan Air Belimau. Dengan menjaga kelestarian Bukit Sarang Macan berarti juga menjaga keberlanjutan ketersediaan air. “Warga sadar bahwa menjaga sumber air sangat penting. Bukan hanya untuk keperluan sehari-hari seperti air minum, memasak, mandi, mencuci dan lainnya, tetapi juga untuk keperluan pertanian seperti sawah,” tambah Saryono, mantan Kepala Desa Ladang Palembang.
Saryono memiliki peran penting dalam mengajak warga melakukan sejumlah pertemuan, memetakan dan memasang patok batas untuk membuat kesepakatan bertanggal 6 Juli 2001 dan 30 Agustus 2002, serta Peraturan Desa No. II Tentang Hutan Lindung Desa dan Hutan Adat Desa bertanggal 30 September 2003. Hingga kini, kesepakatan dan Peraturan Desa No. II/2003 masih berlaku dan ditegakkan oleh warga dan pemerintah desa.
Disadur dalam piagam kesepakatan, kondisi hutan Bukit Sarang Macan dinyatakan belum terjamah. Adapun jenis pohon yang banyak ditemui antara lain Meranti, Semalo, Pasang Batu, Pasang Kapur, Gelam Jambu, Congar, Medang Kuning, Medang Jajik, Medang Keladi, Kayu Manis, Balam, Ketapang dan Meranti Bungo. Hutan Bukit Sarang Macan ditetapkan menjadi hutan lindung desa guna menjaga sumber mata air Udik dan Tik Gelung untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian, dan habitat harimau sumatera.
Untuk pemanfaatan, warga hanya boleh mengambil buah hutan, tanaman obat dan madu dengan tidak merusak pohon. Bila dilanggar, pelaku dikenakan denda adat berupa serawo punjung kambing, beras 2 kaleng, dan denda uang senilai harga kayu yang ditebang atau dirusak. Pemilik kebun yang berbatasan langsung dilarang melakukan pembakaran sebelum menyiapkan pembatas atau parit. Bila dilanggar, pelaku dikenakan denda adat berupa serawo punjung ayam, beras 2 kaleng, dan denda uang senilai harga kayu yang terbakar.
Pemilik kebun yang berbatasan langsung dilarang memperluas kebun hingga masuk ke kawasan hutan Bukit Sarang Macan. Bila melanggar, pemilik kebun dikenakan denda adat berupa serawo punjung kambing, beras 2 kaleng, denda uang senilai harga kayu yang ditebang atau dirusak serta kembali ke lahan semula. Pemilik kebun juga diminta menanam tanaman tua/kayu-kayuan dan menjaga kelestariannya. Bila melanggar, pemilik kebun dikenakan denda adat berupa serawo punjung kambing dan beras 2 kaleng.
Hutan Bukit Sarang Macan dengan luas sekitar 20 hektar itu memiliki batas di sebelah Selatan dan Timur dengan perkebunan masyarakat dan sebelah Barat membujur ke Utara dengan TNKS. “Hutan Bukit Sarang Macan juga berfungsi sebagai penyangga TNKS,” kata Mardiono, Koordinator Seksi Pembibitan Desa. Menurut Jackson (dalam Tilson dan Nyhus, 2010), TNKS adalah habitat bagi banyak harimau sumatera yang tersisa yang terus mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Jadikan Desa Binaan
Perwakilan Forum Harimau Kita untuk Wilayah Provinsi Bengkulu drh. Erni Suyanti Musabine mengapresiasi kearifan terkait pelestarian harimau sumatera di Desa Ladang Palembang tersebut. “Saya pikir Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu – Lampung atau Pemerintah Daerah perlu menjadikan Desa Ladang Palembang sebagai desa binaan atau mitra,” kata Yanti, demikian biasa dipanggil.
Luas kawasan hutan Bukit Sarang Macan memang tidak cukup untuk disebut habitat khusus pelestarian harimau sumatera. Namun, bisa dianggap sebagai bagian dari wilayah harimau. “Apalagi lokasi hutan Bukit Sarang Macan atau Desa Ladang Palembang bersebelahan dengan TNKS, jadi sangat mungkin bila kawasan hutan Bukit Sarang Macan itu menjadi bagian wilayah jelajah harimau atau wilayah harimau mencari mangsa,” kata Yanti.
Artikel ini dikurasi dari : Harmonisasi Masyarakat Ladang Palembang dengan Kehidupan Harimau Sumatera (Bagian 1), Nestapa Hidup Harimau Sumatera, Diburu hingga Menuju Kepunahan (Bagian 2), dan Janji Setia Saryono untuk Menjaga Habitat Harimau Sumatera (Bagian 3) yang telah dipublikasikan oleh www.mongabay.co.id