Oleh: Ade Purnama Dewi dan Intan Yones Astika

Bagi perempuan di Desa Babakan Baru, keberadaan dua jenis bambu yang disebut bulu’ak kapea’ dan bulu’ak se’i (bahasa lokal/Rejang) adalah sangat penting. Keduanya dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, sosial dan budaya. Namun, kedua jenis bambu tersebut hanya tersedia di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Oleh karena itu, perempuan di Desa Babakan Baru berharap akan diberikan izin atau legalitas untuk memanfaatkannya. Hal ini terungkap dalam diskusi bersama Kepala Desa Babakan Baru Pak Fahrul Rozi di kediamannya, Sabtu (26/8/17). “Sebab, hanya tumbuh di bukit Cah Kaco di kawasan TNKS,” kata Ramuna, seorang perwakilan perempuan.

Selain Ramuna, diskusi juga diikuti Siska Nolia Ajaresi, Suryati, Darwati dan perwakilan Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD). Menurut Ramuna, salah satu pemanfaatan bambu oleh perempuan adalah untuk membuat anyaman seperti bokoa (bakul) dan pane (beronang). Produk hasil anyaman digunakan perempuan untuk bekerja di rumah, kebun, sawah, ke pasar atau hajatan.

Ilustrasi: Tas yang terbuat dari bambu/www.berwirausaha.net

“Dulu, pakai beronang untuk mengangkut padi. Tahan lama. Bisa sampai 6 tahun. Kalau sekarang karung plastik. Beberapa kali digunakan, biasanya akan rusak,” cerita Ramuna. Bukan hanya untuk mengangkut padi atau hasil kebun, untuk mengangkut barang-barang yang dibeli dari pasar pun perempuan sudah menggunakan kantong plastik.

Bambu juga dimanfaatkan untuk membuat lemea (Pangan khas Rejang). Lemea adalah hasil fermentasi bambu muda (rebung) dan ikan air tawar. Hasil olahan lemea menjadi menu di rumah, dan menu perempuan yang bergotong royong memasak di tempat hajatan dan tamu undangan. Selain untuk lemea, rebung juga sering diolah menjadi menu tersendiri.

“Kami (perempuan) juga membutuhkan bambu untuk memasak lemang (pangan lokal yang terbuat dari ketan),” ujar Ramuna. Pengambilan bambu di Bukit Cah Kaco untuk bahan baku anyaman, lemea dan pembuatan lemang dilakukan oleh perempuan. Selama ini, dilakukan secara diam-diam karena khawatir ditangkap oleh petugas.

Siska menambahkan, budaya menganyam bambu sangat perlu dilestarikan. Oleh karena itu, hambatan untuk memperoleh bahan bakunya perlu diatasi. Bila tidak, budaya tersebut akan punah. “Hambatan untuk mendapatkan bahan bakunya ikut mengakibatkan banyak perajin anyaman tidak lagi menganyam,” kata Siska.

Anyaman bambu juga potensial dikembangkan menjadi ekonomi produktif perempuan desa. Kreasi anyaman berupa tas dan lainnya bisa dipasarkan sebagai oleh-oleh bila dikaitkan rencana pemanfaatan Air Terjun Batu Betiang, yang juga berada di kawasan TNKS, sebagai objek wisata unggulan daerah. “Juga bisa dipasarkan ke daerah lain,” ujar Siska.

Suryati juga mengaspirasikan pemanfaatan sampah/limbah di sekitar rumah tangga dan desa menjadi pupuk dan pestisida organik. Selain bisa membantu pemenuhan kebutuhan pupuk bagi petani di kebun/sawah, pemanfaatannya juga bisa untuk upaya pemenuhan sayur dan rempah rumah tangga. “Selama ini, sekam padi dan kopi hanya terbuang-buang saja, tidak dimanfaatkan,” kata Suryati.

Fahrul Rozi menyatakan siap mendukung aspirasi yang disampaikan. Hanya saja, izin untuk memanfaatkan bambu atau potensi lainnya di kawasan TNKS yang harus diperoleh terlebih dahulu. “Kami berharap pihak TNKS memberi kemudahan, dan juga berharap Pemda Kabupaten Rejang Lebong dan Pemda Provinsi Bengkulu mendukung agar keinginan kaum perempuan bisa diwujudkan,” ujar Fahrul.